REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Public Virtue Research Institute (PVRI), Majelis Rakyat Papua (MRP), serta akademisi dan aktivis perempuan Papua mendesak Pemerintah Pusat menunda pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Kelompok masyarakat sipil ini berharap pemerintah pusat bisa menunda sampai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan MRP.
Hal ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute bertajuk 'Judicial Review untuk Otonomi Khusus yang Aspiratif', Kamis (21/04/22). Dalam acara tersebut, peneliti PVRI, Fanya Tarissa mengungkapkan, judicial review yang dilakukan MRP merupakan wujud dari lahirnya kebijakan yang tidak demokratis dan mengabaikan hak konstitusional OAP.
“Gugatan MRP ke MK atas revisi UU Otsus yang terjadi hari ini merupakan perjuangan untuk meraih afirmasi dan rekognisi OAP. Minimnya ruang dialog dan rancangan pembangunan berbasis aspirasi OAP menjadi sebab mengapa pemerintah Indonesia mengalami krisis legitimasi sosial di Papua. Menjadi penting untuk menunda pemekaran,” ujar Fanya.
Timotius Murib selaku Ketua MRP membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, UU Otsus yang baru secara substansial dan material cacat, secara prosedural dan formal juga cacat. Perubahan UU Otsus Papua terdapat adanya klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional rakyat Papua.
“Pengambilan kebijakan yang berdampak pada OAP sudah semestinya dijalankan secara demokratis dengan mengedepankan dialog dan hak-hak konstitusional OAP. Pemerintah belum serius dalam memenuhi tiga kewajiban menginformasikan, melakukan konsultasi, dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat asli Papua,” kata Timotius.
Timotius juga mengingatkan, keberadaan Otsus sudah semestinya dianggap sebagai capaian OAP dalam menempatkan diri sebagai bagian dari Indonesia. “Latar belakang lahirnya UU Otsus Papua itu bukan sebuah hadiah, tetapi pencapaian orang Papua dalam rangka menempatkan dirinya sebagai bagian dari negara Indonesia,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan asal Papua, Javier Rosa menyayangkan 20 tahun keberadaan Otsus masih ditemui sentralisasi pembangunan dan minim upaya meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap OAP. Menurutnya, situasi ini membutuhkan evaluasi berbasis aspirasi masyarakat.
“Orang Papua tidak merasa menjadi aktor utama dalam proses pemerintahan Papua sendiri. Pejabat-pejabat orang Papua memang sudah dilaksanakan kewenangannya, tapi bagaimana dengan kewenangan lainnya seperti yang disampaikan Pak Murib? Jakarta menjalankan kontrol yang sentralistik,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar yang merupakan Ahli Pemohon pengujian UU Otsus Papua menguatkan argumen narasumber yang lainnya. Menurut dia, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat haruslah berbasis aspirasi OAP.
“Kalau kita bicara soal otonomi khusus, pemberian peraturan yang lebih tepat harus berasal dari aspirasi daerah. Salah satunya adalah memberi porsi kewenangan terhadap lembaga representasi kultural OAP,” terang dia.
Zainal juga menegaskan, minimnya ruang aspirasi OAP akan berdampak pada ancaman otoritarianisme di Papua. “Poin yang saya mau bilang adalah salah satu problem Papua muncul karena kepentingan elite nasional yang terlalu banyak bermain di sana," kata Zainal.
Karenanya, kalau ini dibiarkan lagi, seperti proses pemekaran dan lain‑lain sebagainya, tanpa melalui tahapan persiapan, ia khawatir akan muncul penolakan besar. "Saya mengatakan norma ini bisa menjadi sentralistik dan di ujungnya bisa jadi menjadi sangat otoritarian Bisa jadi menjadi kepentingan pemerintah pusat saja,” kata dia.