Kamis 21 Apr 2022 07:52 WIB

MK Beri Panduan ke Pemerintah Soal Pengisian Penjabat Kepala Daerah

Dalam mengangkat penjabat kepala daerah harus memetakan kondisi riil setiap daerah

Rep: Mimi Kartika/ Red: Gita Amanda
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah.
Foto: Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah. Kendati demikian, MK memberikan beberapa panduan kepada pemerintah dalam pengisian penjabat kepala daerah.

Dalam pertimbangan MK, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 2024 merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya, sementara penjabat bupati/wali kota berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama.

Baca Juga

Sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Namun, Enny menegaskan, pengisian jabatan pimpinan tinggi dari prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat menjadi gubernur dan bupati/wali kota harus dapat menjalankan fungsi yang diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam lingkup jabatannya maupun ketika diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Hal ini agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.

photo
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah. - (Mahkamah Konstitusi)

Enny menuturkan, penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas. Artinya, setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun, kepentingan siapapun, dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah menjamin terjaganya netralitas ASN.

"Bahwa dari semua hal tersebut diatas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur bupati wali kota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik," ujar Enny dalam sidang pengucapan putusan yang disiarkan daring, Rabu (20/4/2022).

Selain itu, kata dia, penjabat kepala daerah harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing. Penjabat kepala daerah juga harus dapat bekerja sama dengan DPRD.

Karena itu, Enny mengatakan, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah, pemerintah harus terlebih dahulu membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memperhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Hal ini akan menghasilkan para penjabat kepala daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah definitif berdasarkan hasil pilkada serentak nasional 2024.

Karena permohonannya ditolak MK, keinginan pemohon agar kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 untuk diangkat menjadi penjabat kepala daerah tidak dapat direalisasikan.

Enam pemohon berasal dari kalangan mahasiswa program doktor ilmu hukum, dosen, dan wiraswasta yang bertempat tinggal di Jakarta dan Jawa Barat ingin kepala daerah terpilih yang melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pilkada serentak nasional 2024.

Di sisi lain, MK juga menolak permohonan uji materi UU Pilkada lainnya, yakni perkara nomor 67/PUU-XIX/2021 dan 18/PUU-XX/2022 mengenai masa jabatan kepala daerah. Perkara nomor 18/PUU-XX/2022 diajukan oleh bupati dan wakil bupati Halmahera Utara yakni Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi.

Keduanya mempersoalkan Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada yang menyebutkan kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat sampai 2024. Frans dan Muchlis merupakan pasangan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 dan dilantik pada 9 Juli 2021.

Karena keberadaan Pasal 201 ayat 7 itu, keduanya akan menjabat kurang dari lima tahun, seperti aturan Pasal 162 ayat 2 UU Pilkada dan Pasal 60 UU Pemerintahan Daerah. Jika dihitung lima tahun dari tanggal pelantikan, Frans dan Muchlis akan menjabat sampai 9 Juli 2026.

Namun, adanya Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada, Frans dan Muchlis hanya menjabat selama kurang lebih 3,5 tahun sampai terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada serentak 2024. Para pemohon menilai, adanya norma yang tidak selaras antara Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada dan Pasal 162 ayat 2 UU Pilkada serta Pasal 60 UU Pemerintahan Daerah mengakibatkan tumpang tindih peraturan.

Para pemohon merasa hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur Pasal 28D ayat 3 UUD 1945, telah dilanggar.

Kemudian, MK tidak dapat menerima permohonan uji materi UU tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dalam perkara nomor 13/PUU-XX/2022, 20/PUU-XX/2022, dan 21/PUU-XX/2022 terkait ambang batas pencalonan presiden atau presdential threshold. Dalam 12 perkara yang diputus MK hari ini, tidak ada satu pun yang dikabulkan.

Perkara lain yang tidak dapat diterima MK yaitu 3/PUU-XX/2022 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, 14/PUU-XX/2022 atas uji formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta 27/PUU-XX/2022 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Lalu, MK pun menolak permohonan perkara nomor 4/PUU-XX/2022 atas uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, 22/PUU-XX/2022 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, serta 23/PUU-XX/2022 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement