Rabu 20 Apr 2022 17:30 WIB

Israel, Hentikan Politik Apartheid Kalian

Pejabat Indonesia harus hentikan tindakan apartheid Israel

kondisi masjid al aqsa tampak rusak usai penyerangan militer isarel
Foto:

Satu cara efektif yang dilakukan Pemerintah Israel dalam menjalankan segregasi dan opresi adalah melalui sistem kartu penduduk ( ID system). Orang Yahudi cukup punya satu kartu yang bisa menjamin mereka bisa tinggal di wilayah mana pun yang mereka mau, untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan aneka layanan premium lain yang berlimpah. Sementara warga Palestina punya 4 (empat) jenis tergantung wilayah tempat tinggal. Jenis kartu akan membedakan hak yang bisa dilakukan, wilayah yang bisa dikunjungi, dan tindakan yang bisa dilakukan.

Pemegang kartu hijau berarti terikat mutlak dengan aturan militer. Pemegang kartu hijau dengan alamat Gaza—jumlah mereka sekitar dua juta orang--berarti terperangkap di sebuah “penjara terbuka ( open-air prison) seluas 365 km2 dalam blokade total tentara Israel yang mengontrol ketat semua aliran keluar masuk kawasan, termasuk mainan anak-anak dan pasokan obat. Ini dimulai sejak 2007. Sekitar 90% warga Gaza tak punya akses air bersih. 47% pengangguran dan 56% hidup miskin.

Pemegang kartu hijau Gaza juga tak boleh ke Yerusalem atau Tepi Barat meski ada keluarga mereka di sana. Sebaliknya, jika ada warga Tepi Barat yang menurut Israel adalah penduduk ilegal meski sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan itu, mereka bisa dipaksa pindah ke Gaza. Ada atau tidak ada saudara di sana. Sebuah deportasi.

Lalu ada pemegang kartu hijau dengan alamat Tepi Barat yang berjumlah sekitar tiga juta jiwa. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman yang sudah ditentukan (legal), dikelilingi kawasan hunian Israel yang mewah—sebenarnya justru ilegal. Di antara kedua pemukiman itulah dibangun Tembok Apartheid Israel dengan tinggi 8 meter dan panjang 700 km yang sudah disebutkan sebelumnya.

Segregasi diperkuat dengan aturan jalan raya berbeda untuk warga Israel dan untuk orang Palestina. Bedanya, jika orang Israel bisa melaju kencang dengan kendaraan mereka, orang-orang Palestina tiap sebentar harus berurusan dengan pos pemeriksaan ( checkpoints) yang jumlahnya banyak sekali, bukan hanya satu-dua. Pemegang kartu hijau dengan alamat Tepi Barat boleh bepergian ke Gaza atau Yerusalem Timur, namun setelah mereka mendapatkan surat izin bepergian dari aparat keamanan Israel.

Jenis kartu berikutnya adalah kartu biru bagi warga Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur dan berjumlah sekitar 300 ribu orang. Mereka boleh berkunjung ke Tepi Barat dan kawasan Israel lainnya tetapi mereka bukan dianggap sebagai warga negara Israel. Mereka hanya penduduk saja. Karena bukan warga negara, mereka tak punya hak pilih dalam pemilu Israel. Jika mereka meninggalkan Yerusalem Timur untuk waktu lama—misalkan kuliah atau bekerja di luar negeri—maka kartu biru mereka dicabut dan dibatalkan yang berarti mereka tak bisa kembali. “Sejak 1967, Israel sudah membatalkan 16.400 kartu biru warga Palestina di Yerusalem Timur,” ungkap Philip Luther.

Terakhir, orang-orang Palestina pemegang kartu kewarganegaraan Israel yang berjumlah 1,3 juta jiwa. Mereka memiliki lebih banyak privilese dibandingkan tiga kelompok pemegang kartu sebelumnya. Meski begitu, mereka tetap tak diizinkan bermukim di 68% kota-kota Israel. Artinya jika ada 100 kota di Israel—sekadar contoh untuk memudahkan—mereka hanya bisa tinggal di 32 kota saja yang diperbolehkan.

Kelompok ini boleh ikut pemilu, punya hak suara dan dipilih sebagai anggota Knesset (Parlemen Israel)--namun tetap mengalami diskriminasi karena tak mendapat layanan sosial sebagus warga Yahudi Israel, bahkan jika mereka terpilih sebagai anggota Knesset.

Seakan-akan tak cukup membuat rakyat Palestina menderita dengan sistem kartu penduduk yang berlapis-lapis itu, Pemerintah Israel masih mempersulit pemberian IMB. Bandingkan data ini. Di tahun 2020, jumlah IMB yang diberikan kepada warga Yahudi di Tepi Barat sebanyak 1.094 sedangkan kepada warga Palestina di kawasan yang sama  hanya ... 1 (satu)! Jika ada warga Palestina yang nekat membangun tanpa IMB, maka bangunan akan dibuldozer dan diratakan dengan tanah dengan alasan tak punya IMB. Di tahun yang sama, Amnesty International mencatat terjadi penghancuran rumah warga Palestina sebanyak rata-rata 18 rumah setiap pekan. “Ini cara memperlemah bangsa Palestina dan memiskinkan mereka yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk peraturan yang rasis,” kecam Philip Luther.

Tudingan praktik apartheid dengan seketika dibantah Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid. “Amnesty Internasional mengutip kebohongan yang sering diucapkan kelompok-kelompok teroris untuk memburukkan negara kami. AI sudah ikut menjadi gerakan Anti Semit. Cukup 5 menit menguji serius data-data dalam laporan AI sudah bisa menunjukkan semuanya bohong,” katanya.

Bantahan Israel diamini Pemerintahan Joe Biden yang sedang memerintah AS dan menjadi sekutu terdekat negeri Zion itu. “Sebuah laporan yang absurd,” ujar Duta Besar AS untuk Israel, Tom Nides. “Itu bukan jenis bahasa yang kami pakai dan tak akan pernah kami gunakan.”

Namun pihak AI menjawab kalem. “Kami bukan organisasi politik, kami organisasi kemanusiaan. Israel memang bukan Afrika Selatan, tetapi apa yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina sudah memenuhi definisi apartheid menurut hukum internasional yang berlaku,” simpul Sekjen AI, Agnes Callamard, dari kantor pusatnya di London, Inggris.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement