REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua warga Papua yakni E Ramos Petege dan Yanuarius Mote mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari beberapa pasal yang digugat, salah satunya mereka mempersoalkan Pasal 76 ayat 2 mengenai pengaturan pemekaran daerah Papua.
Keduanya berpendapat, ketentuan Pasal 76 ayat 2 mengembalikan sistem sentralistik. Kemudian, ketentuan yang menyebutkan pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom itu dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1, 2, dan 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
"Pada dasarnya telah bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2), dan (6) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan," ujar Yanuarius Mote dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 43/PUU-XX/2022 secara daring, Senin (18/4/2022).
Dia menjelaskan, amanat konstitusi itu dijabarkan pula dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah ialah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, Provinsi Papua juga merupakan daerah otonom yang diberikan otonomi khusus melalui UU Otsus Papua. Dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta berkesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, maka perlu dilakukan upaya dan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
Namun, Pasal 76 ayat 2 menyebutkan, pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua. Padahal, menurutnya, pemekaran wilayah Papua harus dilakukan oleh daerah.
Sentralistik makin kuat ditambah dengan ketentuan Pasal 75 ayat 4 yang menyebutkan, pemerintah pusat dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan menyusun peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (perdasi) sebagai pelaksanaan UU Otsus Papua. Pasal 75 ayat 4 berlaku apabila perdasus dan perdasi yang melaksanakan ketentuan dalam UU Otsus tidak ditetapkan paling lambat satu tahun sejak UU Otsus diundangkan.
"Maka ketentuan Pasal 76 ayat (2) dan (3) dan Pasal 75 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua telah bertentangan pada ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 karena memberikan wewenang kembali kepada pemerintah pusat," kata Yanuarius Mote.
Di sisi lain, para hakim memberikan nasihat. Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon menguraikan kedudukan hukum dan kerugian konstitusional berkaitan dengan permohonan uji materi yang diajukan.