Senin 18 Apr 2022 06:23 WIB

Sang Nenek: Karomah Para Menteri Sepanjang Zaman

Karomah seoraqng ibu

Seorang wanita memperhatikan foto R.H. Didi Sukardi, menteri, pejuang kemerdekaan dan wartawan yang dikenal sebagai salah satu pahlawan di Sukabumi.    Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul
Foto:

Saya pribadi dalam obrolan santai berdua dengannya, pernah ditanya dalam bahasa Sunda, “Kunaon agama Islam turun  na di Arab? (Kenapa agama Islam turunnya di Arab).”  Dalam berbicara Ibu memang masih banyak dan sering memakai bahasa Sunda, lantaran dia berasal dari Parahiyangan. Lahir dan besar di Sukabumi.

    “Kan karena dulu orang Arab bahlul, biadab  dan sadis,” jawab saya mengutip beberapa ceramah Kiai soal asal usul kenapa agama Islam turun di Arab. “Jadi untuk memperbaiki moral bangsa Arab.” 

     “ Menurut Ibu, itu mah kurang tepat!” tegasnya. 

     “Tapi itu pendapat banyak Kiai, Bu!” Saya mencoba membantah.

      “Mungkin kiai-kaia itu  udah kurang mau berpikir lagi,” katanya kalem. 

Dia melanjutkan, “ Kalau agama Islam diturunkan di Arab karena alasan bangsa Arab dulu bahlul, biadab dan sadis, jadi Islam bisa tidak cocok untuk bangsa seperti Indonesia yang dari dulu sudah terkenal sabar, santun dan tegang rasa. Padahal kan agama Islam universal. Apalagi dari sejarah sudah jelas, pada  waktu itu banyak bangsa lain  di luar bangsa Arab yang kebudayaan lebih bahul, lebih biadab dan lebih sadis dari bangsa Arab. Emang gladiator, mengadu orang sampai mati, -teu _ (tidak) sadis?” paparnya.

      “Jadi kenapa Bu?”  kejar saya 

       “Kiye (begini). Apa alasannya sebenarnya,  hanya Gusti Allah yang tahu. Tapi kalau ikhtiar manusia untuk mengetahuinya  dan memberikan pemikiran, bisa ada alasan yang lebih wajar. Coba kamu ambil globe (bola dunia). Kamu periksa dimana letak zairah Arab? Orang  kita menyebutnya *timur tengah. * Artinya, jazirah Arah terletak di tengah-tengah dunia!”

     “Punten, saya belum mengerti Bu?”

       “Dengan terletak di tengah-tengah dunia, penyebaran agama Islam jadi lebih mudah. Lebih praktis. Lebih cepat. Coba  lamun (jika) turunnya di kutub utara, bagaimana penyebarannya?   Pasti dari hitungan apapun, ekonomi, sosial, politik dan nu sejen (lainnya), susah sekali,” jelasnya. “Wakaupun begitu, nu pang nyaho na (tapi yang paling tahu) tepat ya Gusti Allah. Ini mah cuma tafsir dari Ibu saja.”

     Saya manggut-manggut. Penjelasan yang logis. Sampai sekarang, setelah saya tua, saya masih menyakini kebenaran pendapat Ibu itu

      Kendati keturunan ningrat dan dari keluarga kaya, dia tidak diskriminatif. Dia mau bergaul dengan semua golongan.

       Ibu sangat anti ada anak keturunannya yang bersikap culas, curang, apalagi korupsi. Dia mengajarkan keturunanya untuk bersikap jujur, berani serta tanggung jawab. Pernah setelah saya mampu membeli rumah mungil di Pondok Indah, Jakarta Selatan, saya datang ke Sukabumi melaporkan hal ini kepada Ibu.

      “Alhamdullilah Bu, saya sudah punya rumah sendiri di Pondok Indah. Biar kecil tapi lumayan,” jelas saya kala itu.

     Saya sudah membayangkan sebagai nenek, Ibu bakal langsung bergembira menerima kabar dari cucunya ini. Nyatanya dia tak bereaksi  sesuai perkiraan, tepatnya harapan, saya. Dia cuma diam saja

      “Kamu punya uang cukup untuk beli rumahnya?” tanya Ibu menyelidik.

       “Alhamdullilah Bu.

Saya kerja keras, di beberapa perusahaan dan masih ditambah nyambi- nyambi macem-macem.

Suami isteri kan kerja juga.,” jawab saya

      Dia masih bergeming.

      “Masih kredit kok Bu,” tambah saya lagi.

       “Tapi bukan dari uang korupsi kan?” tiba-tiba dia nyeletuk.

Oh, ini rupanya perkaranya. Dia tidak mau cucunya korupsi. Logikanya hebat : bagaimana saya yang kala itu masih mudah, kok sudah bisa beli rumah di Pondok Indah? Darimana sumber keuanganya. Ibu ingin memastikan. Dia tak mau ada cucunya yang korupsi!!

“Oh bukan sama sekali, Bu. Bukan dari korupsi belinya. Hasil kerja keras berdua!” jelas saya dengan tekanan suara menyakinkan.

 Barulah wajahnya lega. Senyumnya mengembang. “Lamun kitu (kalau begitu), syukurlah. Allhamdullilah,”katanya.

Ibu bukan hanya tegas, adil dan jujur dalam perkataan dan pikiran tapi juga dalam pelaksanaanya. Dulu di belakang rumahnya terhampar luas sawah miliknya. Sawah itu dikerjakan oleh penduduk sekitar di sana. Pembagian hasilnya juga menarik, karena jauh dari membebani rakyat. Setiap hasil panen, seluruh padi dibagi tiga. Sepertiga bagian buat yang membantu panen, dan dua pertiga lainnya buat Ibu sebagai pemilik. 

 Sampai saya telah kuliah, kalau saya ke Sukabumi, saya masih diberikan “uang jajan” oleh Ibu.  Makanya ketika saya sudah lulus dari Fakultas Hukum UI, dan sudah mulai bekerja, saat menerima “uang jajan” dari ibu, saya bilang,”Bu ini yang terakhir saya terima dari Ibu. _Ayena abdi to damel. Tos loba artosna.Teu kedah dipasihan dei _ (Ibu, ini uang pemberiaan terakhir dari Ibu ya. Saya sekarang sudah bekerja. Uangnya udah banyak, jadi gak perlu dikasih lagi).”

Saya sengaja bilang “uangnya udah banyak” biar Ibu mau menghentikan memberi uang ke saya. Kalau cuma bilang “sudah kerja” dia pasti tak yakin, uang saya sudah cukup atau tidak. Memang salah satu kehebatan karakter Ibu, dia sangat menyayangi anak cucu keturunan, dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Secara intinktif dia faham mana cucu-cucunya yang berkecukupan,  dan mana yang masih perlu dibantu diberi “uang jajan.” Untuk saya, karena saya pernah tinggal bersamanya, jadi sampai saat itu tetap diberi “uang jajan.”

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement