Ahad 17 Apr 2022 12:40 WIB

Perludem: Irisan Pemilu dan Pilkada Pengaruhi Integritas Penyelenggara

Irisan tahapan pemilu dan pilkada pada tahun 2024 membuat beban berat penyelenggara.

Ilustrasi. Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan irisan tahapan pemilihan umum dan pilkada pada tahun 2024 membuat beban berat petugas penyelenggara pemilu sehingga berpotensi memengaruhi profesionalitas, kredibilitas, dan integritas pemilu.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Ilustrasi. Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan irisan tahapan pemilihan umum dan pilkada pada tahun 2024 membuat beban berat petugas penyelenggara pemilu sehingga berpotensi memengaruhi profesionalitas, kredibilitas, dan integritas pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan irisan tahapan pemilihan umum dan pilkada pada tahun 2024 membuat beban berat petugas penyelenggara pemilu. Irisan itu berpotensi memengaruhi profesionalitas, kredibilitas, dan integritas pemilu.

"Penyelenggara akan sulit bisa bekerja dengan baik dan maksimal bila bebannya bukan hanya besar, melainkan juga rumit dan kompleks," kata menjawab Titi Anggraini melalui percakapan WhatsApp di Semarang, Ahad (17/4/2022).

Baca Juga

Ketika berbicara soal tantangan Pemilu dan Pilkada 2024, Titi mengemukakan bahwa pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun yang sama ini membuat atensi pemilu nasional lebih mendominasi. Menuju 2024, menurut dia, hampir tidak ada ruang untuk melakukan reformasi sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu. 

Karena itu, problem politik dan elektoral Pemilu 2019 potensial akan berulang. Titi yang pernah sebagai direktur eksekutif Perludem mengutarakan bahwa kompleksitas teknis pemilu memengaruhi kualitas dan kemurnian suara pemilih. 

Masalahnya, tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) mencederai daulat rakyat. Pada Pemilu Anggota DPR RI 2019, misalnya, terdapat 17,5 juta suara tidak sah.

Tantangan lain yang perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan pemilu, lanjut Titi, adalah gangguan terhadap hak pilih berupa praktik jual beli suara (vote buying). Selain itu, penyebaran misinformasi dan disinformasi yang bisa memengaruhi publik sehingga membuat keputusan yang salah pada pemilu dan pilkada.

Dia menyebutkan bahwa pilkada yang dilaksanakan pada tahun yang sama memicu pragmatisme partai akibat konsolidasi internal yang tidak optimal. "Karena ingin mengembalikan ongkos politik pemilu serta akibat soliditas internal yang belum sepenuhnya pulih pasca-pemilu, bisa memicu pragmatisme partai yang berdampak pada tumbuh suburnya praktik mahar politik. Eksesnya dapat berupa meningkatnya tren calon tunggal," kata Titi.

Di lain pihak, kata dia, terdapat pula tantangan terbuka dari elite, seperti serangan terhadap prinsip konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) yang merupakan artikulasi semangat reformasi dan komitmen dalam berdemokrasi. Misalnya, penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan, dan presiden tiga periode.

Selain itu, proses legislasi yang meninggalkan publik atau tanpa partisipasi publik yang bermakna. Titi lantas menyebut sejumlah undang-undang, seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Mahkamah Konstitusi, UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Tantangan lain yang berasal dari elite politik adalah terjadi pemusatan kekuasaan dengan kontrol yang lemah dari kekuatan penyeimbang sebagai konsekuensi ambang batas pencalonan presiden dan politik akomodatif Presiden. Misalnya, pencabutan RUU Pemilu dari Prolegnas dan UU Cipta Kerja.

Hal lain yang menjadi sorotan Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi International Institute for Electoral Assistance (International IDEA) adalah kriminalisasi aktivis masyarakat sipil oleh pejabat publik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement