Sabtu 16 Apr 2022 15:55 WIB

Temui Mahfud, MRP Sampaikan Penolakan Daerah Otonom Baru di Papua

Menurut MRP, banyak orang asli Papua menolak pembentukan daerah otonom baru.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Andri Saubani
Mahasiwa berorasi saat mengikuti aksi di Lingkaran Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (1/4/2022). Aksi terebut untuk menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Gusti Tanati
Mahasiwa berorasi saat mengikuti aksi di Lingkaran Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (1/4/2022). Aksi terebut untuk menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) didampingi Amnesty Internasional Indonesia menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jumat (15/4/2022). Salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan itu terkait dengan rencana pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua.

Wakil Ketua MRP, Yoel Luiz Mulait mengatakan, pihaknya telah menerima aspirasi masyarakat Orang Asli Papua (OAP) mengenai DOB tersebut. Ia mengungkapkan, banyak OAP yang menolak rencana itu.

Baca Juga

“Sebagian besar menolak pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) karena dilakukan dengan pendekatan sentralistik yang mengacu pada ketentuan yang baru, yaitu Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua,” kata Yoel dalam keterangannya, Sabtu (16/4/2022).

Yoel menyebut, MRP pun menyayangkan langkah Komisi II DPR RI yang terburu-buru mendorong pemekaran wilayah Papua. Badan Legislasi DPR RI, lanjutnya, secara cepat menyetujui tiga RUU DOB pada 6 April 2022. Lalu, kurang dari sepekan kemudian, pada 12 April 2022, RUU tersebut disetujui oleh Rapat Paripurna DPR RI menjadi RUU Usul Inisiatif DPR, yaitu RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. 

"Ini sangat terburu-buru dan tidak partisipatif,” jelas Yoel.

Oleh karena itu, sambung dia, MRP meminta agar seluruh pelaksanaan revisi kedua UU Otsus, terutama rencana pemekaran dan pembentukan DOB di Tanah Papua ditunda sampai ada keputusan final dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Yoel menuturkan, pihaknya juga mengharapkan kebijaksanaan dari Presiden Jokowi terkait hal tersebut. Selain itu, lanjut dia, untuk saat ini, MRP meminta pembentukan DOB ditunda sampai ada putusan final dari Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa uji materiil UU Otsus Papua hasil amandemen kedua.

 

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid berharap agar pembentukan DOB dapat memperhatikan implikasi politik, hukum, keamanan, dan juga situasi hak asasi manusia (HAM) di Papua. Sebab, ia mengungkapkan, tidak sedikit masyarakat setempat yang khawatir jumlah aparat keamanan bertambah, seiring dengan rencana pembentukan DOB.

“Banyak orang Papua yang khawatir jika pembentukan DOB akan diikuti oleh penambahan gelar pasukan dan satuan-satuan territorial maupun pembentukan polda-polda di provinsi-provinsi baru tersebut," ujar Usman.

Di sisi lain, Usman juga mengapresiasi pernyataan Mahfud yang mengatakan bahwa pemerintah akan memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat Papua sebelum benar-benar melakukan penambangan emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.

“Pak Mahfud juga mengatakan pemerintah akan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi hasil penelitian Amnesty terkait rencana tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya. Temuan dari penelitian kami juga telah dibahas dalam pertemuan Menkopolhukam dengan Menteri BUMN, Menteri Investasi, bahkan Presiden,” jelas Usman.

Sebelumnya, pada 21 Maret 2022 lalu, Amnesty International Indonesia meluncurkan sebuah laporan berjudul 'Perburuan Emas: Rencana Penambangan Blok Wabu Berisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua.' Dalam laporan ini, Amnesty mendokumentasikan penambahan aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah tersebut sejak 2019, dari yang semula hanya dua pos militer meningkat menjadi 17 pos militer.

Amnesty juga mencatat setidaknya terjadi 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan. Termasuk peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh OAP setempat.

Usman mengungkapkan, warga Intan Jaya mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menggunakan area penambangan yang diusulkan untuk membudidayakan tanaman, berburu binatang, dan mengumpulkan kayu.

“Dengan mengabaikan kebutuhan, keinginan, dan tradisi penduduk asli Papua, pengembangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi hak asasi manusia yang juga sudah memburuk,” tuturnya.

Mahfud MD menyebut, dalam pertemuan itu MRP menyampaikan banyak hal, antara lain terkait persoalan penambangan baru di Wabu pascaperpanjangan kontrak Freeport. Mahfud mengatakan, pemerintah mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh MRP.

"Saya menyampaikan bahwa penambangan baru dilakukan oleh BUMD dan BUMN dengan tetap memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat luas dan masyarakat adat. Hingga saat ini belum ada Izin Usaha Pertambangan (IUP)," kata Mahfud seperti dikutip dari akun Instagram resminya @mohmahfudmd, Sabtu.

 

photo
Skenario Pemekaran Papua - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement