REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai revisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, amar putusan MK memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja (Ciptaker), bukan revisi UU PPP.
"Undang-Undang PPP ini jangan menjadi produk hukum yang menghalalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang haram," ujar Feri dalam diskusi daring, Jumat (15/4/2022).
Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan, UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena tidak dibentuk sesuai UU PPP. Salah satu alasannya karena UU PPP tidak mengenal metode omnibus law yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menyusun UU Ciptaker.
Namun, bukannya memperbaiki UU Ciptaker sebagaimana yang diperintahkan MK, pemerintah dan DPR justru ingin merevisi UU PPP. Upaya ini diharapkan dapat membuat UU Ciptaker konstitusional.
Atas upaya itu, Feri menyebut cara yang dipakai pemerintah dan DPR seperti monster legislasi. Kepentingan-kepentingan pembentuk undang-undang seringkali menyengsarakan orang lain.
Selain itu, dia melihat ada upaya pemerintah mengabaikan putusan MK, di antaranya dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tidak seperti judulnya, Inmendagri ini justru bertentangan dengan putusan MK.
Dia berharap, Inmendagri tersebut melarang kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota untuk tidak menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan UU Ciptaker. Namun, kenyataannya, Mendagri justru memerintahkan kepala daerah segera menyelesaikan peraturan daerah dengan berlandaskan pada UU Ciptaker.
"Menurut saya janggal, Instruksi Mendagri ini keluar setelah putusan 91, tapi memerintahkan seluruh kepala daerah mengabaikan putusan 91," kata Feri
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti juga menyampaikan bahwa dissenting opinion untuk merevisi UU PPP bukan merupakan satu dari sembilan amar putusan MK. Apalagi jika tujuan utamanya adalah untuk memasukkan omnibus sebagai salah satu metode pembentukan perundang-undangan.
Adapun, panitia kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyepakati metode omnibus masuk ke dalam Pasal 64 Ayat 1 revisi UU PPP. "Metode omnibus tidak sederhana, cenderung membingungkan, dan bisa menyesatkan. Serta cenderung menyembunyikan hal-hal penting, apabila bisa sebesar RUU Cipta Kerja," ujar Bivitri.
"Karena memuat banyak hal, besar potensinya penyusun dan pembahas luput melihat dampak atau implikasi undang-undang dalam praktik," sambungnya.
Sebelumnya, Baleg telah menggelar rapat pleno terhadap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Dalam rapat tersebut, Baleg mengambil keputusan tingkat I revisi undang-undang tersebut.