Jumat 15 Apr 2022 09:49 WIB

Ade Armando Dikeroyok, BNPT: Pelaku Terkena Virus Takfiri dan Pola Pikir Radikal

Brigjen Ahmad Nurwakhid sangat menyesalkan anarkisme oleh sekelompok orang.

Rep: Flori Anastasia Sidebang/ Red: Erik Purnama Putra
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ahmad Nurwakhid.
Foto: Dok BNPT
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ahmad Nurwakhid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ahmad Nurwakhid mengutuk keras aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pegiat media sosial, Ade Armando saat unjuk rasa di depan gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Senin (11/4/2022). Dia menyebut, kekerasan dan anarkisme di ruang publik bukan cara masyarakat yang beradab, tetapi ciri kelompok ekstremisme yang prokekerasan.

"Kekerasan dalam bentuk dan atas nama apapun bukan cerminan sikap dan warisan leluhur bangsa ini, serta nyata bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kami secara tegas mengutuk cara-cara barbar yang dipentaskan oleh sekelompok orang di ruang publik seperti ini,” kata Nurwakhid dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.

Baca: Dulu Anggap Bukan Musuh, Jenderal Dudung Sekarang Minta KKB Ditindak Tegas

Adapun dalam video yang menampilkan kekerasan terhadap Ade Armando menjadi sorotan karena sejumlah pengeroyok dengan lantang mengucapkan kalimat tertentu. "Kekerasan atas nama apapun, termasuk dengan cara membajak dan memanipulasi ajaran agama merupakan kejahatan yang harus dikecam dan dikutuk. Ini menjadi pelajaran bagi kita bersama," jelasnya.

Menurut Nurwakhid, cara berpikir seperti itu memiliki kemiripan dengan pola pikir kelompok radikal terorisme. Mereka, lanjut fdia, selalu melegitimasi segala tindakan kekerasan yang dilakukan dengan mempolitisasi dan memanipulasi dalil agama.

Dari narasi yang diumbar, Nurwakhid menduga kuat para pelaku kekerasan terhadap Ade tersebut terpapar virus takfiri yang mudah mengkafirkan pihak yang berbeda dan menghalalkan darah yang dianggap kafir. Ia menjelaskan, pandangan takfiri merupakan salah satu karakteristik kelompok radikal terorisme selama ini.

Baca: Sentil Kiki Syahnakri, Fadli Zon Ingatkan TNI Sejarah Pembantaian PKI 1965 Bisa Diubah

“Kita sudah banyak belajar dari pengalaman kelompok teroris yang selalu membajak ajaran agama untuk tindakan kekerasan. Nampaknya, pola ini sudah mempengaruhi masyarakat yang dengan mudah membawa dalil-dalil agama untuk membanggakan tindakan anarkisme ruang publik," tuturnya.

Di samping itu, Nurwakhid sangat menyesalkan anarkisme oleh sekelompok orang tersebut dilakukan di tengah aksi massa dan dalam nuansa ibadah bulan Suci Ramadan. Ia menilai, seharusnya umat Islam di bulan ini bisa menahan tidak hanya makan dan minum, tetapi mencegah dari segala tindakan keburukan, termasuk kekerasan.

“Ramadan ini mestinya harus dijadikan bulan untuk melakukan muhasabah dan pengendalian diri, bukan malah memuaskan diri dengan hawa nafsu dan tindakan kekerasan. Kita harus berkomitmen cara-cara kekerasan tidak bisa ditoleransi dan diberikan ruang di negeri ini”, ujar Nurwakhid.

Baca: Aturan Baru, Jenderal Andika Bolehkan Keturunan PKI Daftar Jadi Calon Prajurit TNI

Ade diketahui jadi korban pemukulan oleh sekelompok orang tak dikenal saat ikut dalam aksi unjuk rasa di depan kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin. Ade langsung diamankan kepolisian setelah dikeroyok massa.

"Ya kita melihat tiba-tiba ada pemukulan di tengah kerumunan orang. Kita melihat di situ pemukulan yang cukup melukai korban, Ade Armando karena lukanya cukup parah. Bahkan, tadi terlihat celananya diturunkan sehingga dilakukan pertolongan oleh kepolisian," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan di lokasi.

Unjuk rasa itu dilakukan oleh elemen mahasiswa dan warga sipil. Aksi tersebut dilakukan sebagai respons atas berbagai spekulasi politik oleh pejabat publik dalam beberapa minggu terakhir, terutama menyoal perpanjangan masa jabatan presiden dan amandemen UUD 1945.

Aksi itu menuntut agar elemen pemerintah mematuhi konstitusi dengan tetap menyelenggarakan pemilihan umum pada waktunya, dengan tetap membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement