Kamis 14 Apr 2022 14:46 WIB

Senin, 12 Ramadan 1383 H yang genting: Kenangan Penangkapan Hamka

Kisah tentang penangkapan Hamka

Buku kiswah tentang Hamka.
Foto:

Keesokan harinya, 1 Februari, semua misteri mulai lebih jelas bagi Hamka setelah menjalani interogasi. Dia dituduh terlibat rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 yang bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Sukarno. Interogator menuding Hamka dan komplotan menerima bayaran empat juta dari Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia. “Rekan Saudara, Dalari Umar, menyimpan empat peti granat untuk dilempar kepada Presiden Sukarno. Semua rahasia sudah di tangan polisi. Kalian para pengkhianat akan diganyang!”

Hamka mematung. Tak menyangka ada seorang anggota polisi, dengan tubuh lebih kecil darinya, wajah dingin dengan kumis tebal, sampai menuding wajahnya dengan suara berapi-api. Hamka berusaha sekuat tenaga menahan emosi agar tidak meledak. Apalagi dia punya kemampuan silat yang memadai. Diliriknya pinggang interogator yang menyembunyikan sepucuk pistol. Hamka mengontrol jawabannya agar tetap tenang. “Saya seorang nasionalis. Saya ikut memerdekakan bangsa ini. Tidak mungkin saya menjadi pengkhianat negeri ini ...”

“Saudara pengkhianat! Saudara lebih pro-Malaysia ketimbang Pemerintah Indonesia,” cecar interogator.

“Tidak benar,” Hamka terbata-bata karena syok dan marah. “Saya seorang patriot ...” 

“Dusta! Saudara pengkhianat yang menjual negeri ini kepada Malaysia,” potong sang interogator dingin. Berulang-ulang. Interogasi berlangsung intens setiap hari, berjam-jam, sampai 8 Februari, kadang sampai dini hari. Di luar tahanan, orang-orang sibuk ibadah setiap malam menunggu Lailatul Qadar. Sepotong malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Idul Fitri datang—bertepatan 15 Februari 1964—membawa kekecewaan bagi jamaah Masjid Al Azhar karena imam masjid mereka tetap tak jelas di mana rimbanya. Usai salat Ied dilanjutkan dengan khutbah hari raya yang disampaikan oleh Ruslan Abdulgani, orang kepercayaan Sukarno. Jamaah berdiri dan beramai-ramai meninggalkan masjid sebagai tanda protes kepada Pemerintah.

Di Sukabumi—kota yang berudara dingin—kesehatan Hamka yang mengidap wasir dan diabetes kian terpuruk karena stres dan fasilitas tahanan yang buruk. Pada Agustus 1964, para penahannya membawa Hamka untuk diperiksa di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Sebab jika sang ulama sakit parah, mereka juga yang akan terkena getah.

Rencana polisi sederhana: setelah diperiksa dokter dan diberi obat secukupnya, Hamka kembali digiring ke selnya. Namun lain rencana, lain realita. Dokter yang memeriksa Hamka mengharuskan sang ulama menjalani perawatan intensif di RS tak boleh dibawa keluar lagi. Polisi menyerah pada keinginan dokter yang tanpa kompromi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement