Kamis 07 Apr 2022 18:21 WIB

Ramadhan, Melawan Banalitas Kekuasaan

Ramadhan saat interopeksi diri dari banalitas kekuasaan

Ramadhan
Foto:

Ramadhan: Puasa dan Kuasa

Produksi wacana presiden tiga periode dinilai kontraproduktif dengan kondisi masyarakat yang butuh ketenangan. Tenang bukan hanya untuk menjalankan ibadah selama bulan puasa, tapi juga ibadah pengabdian bagi para pemimpin yang telah diberi mandat kuasa. 

Sebenarnya dalam batas-batas tertentu antara puasa dan kuasa mempunyai derajat pemaknaan yang saling beririsan. Keduanya bertalian secara nilai dalam arti menahan atau mengendalikan. Menahan merupakan sebuah kata kerja, di dalamnya memerlukan kekuatan diri untuk mengontrol tindakan yang berpotensi terjadi namun tidak sesuai dengan kaidah. Secara sederhana, refleksi puasa dapat menjadi spirit nilai yang memagari kekuasaan untuk tidak berbuat sewenang-wenang, karena memang ada batasnya. 

Bahkan secara khusus Rasulullah SAW meletakkan derajat pemimpin yang adil di level tertinggi sebagaimana menganalogikan jika sehari seorang pemimpin yang adil itu lebih utama dibandingkan melakukan ibadah selama 60 tahun. Puasa mengajarkan seseorang untuk merasakan atau berempati terhadap realitas sosial seperti kelaparan atau kemiskinan. Pemimpin yang terlibat secara emosional meraskan penderitaan itu, kemudian berusaha mencari jalan keluar, sejatinya ia telah bertanggung jawab atas kepemimpinannya. 

“Puasa” untuk tidak terjebak pada tawaran-tawaran pragmatis yang mengancam keadilan dan kesejahteraan menjadi cita-cita luhur pemimpin negarawan. Kekuasaan sudah semestinya tidak digunakan hanya untuk memenuhi hasrat diri atau golongan, tetapi menjadi sarana untuk mencapai kebaikan bersama.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement