REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk meringankan beban ekonomi, pemerintah telah memutuskan akan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) upah kepada pekerja yang bergaji di bawah Rp 3 juta, dan akan cair dalam waktu dekat. Namun, kebijakan itu dinilai bisa menjadi diskriminatif bagi buruh atau pekerja yang berada di kawasan kota industri besar.
Presiden Konfedrasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal justru melihat, BLT upah sebesar Rp 1 juta ini bisa tidak tepat sasaran, karena mungkin buruh di luar daerah yang akan nendapatkannya. Sedangkan, buruh di kota-kota industri, yang sudah mendapatkan upah di atas Rp 3 juta tidak mendapatkan BLT upah ini.
“Jika subdisi upah hanya diberikan kepada buruh yang menerima upah Rp 3,5 juta ke bawah, artinya kebijakan ini hanya akan dinikmati pekerja di luar kota besar atau kota industri,” kata Said Iqbal dalam keterangan persnya, Kamis (7/4/20022).
Padahal, lanjut Said Iqbal, yang paling terdampak terhadap pandemi Covid-19 dan kenaikan harga barang adalah buruh yang bekerja di kota industri. Tetapi, karena mereka sudah mendapatkan upah di atas 3,5 juta, justru tidak mendapatkan subdisi upah tersebut.
“Jadi sesungguhnya program ini untuk siapa? Kami melihat, penerima dari program subsidi upah ini tidak tepat sasaran,” kritik pria yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini.
Said Iqbal menjelaskan, pihaknya setuju dengan program subsidi upah tersebut. Karena memang, KSPI sudah mengusulkan program ini sejak April 2021. Namun, yang saat ini dipermasalahkan buruh adalah terkait dengan penerima dari program tersebut.
“Kalau penerima subdisi upah adalah buruh yang bergaji Rp 3,5 juta ke bawah, itu hanya didapatkan untuk buruh di daerah yang industrinya kurang. Misalnya, Pacitan dan Boyolali yang memang tidak banyak terdapat industri. Sedangkan buruh yang bekerja di Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Mojokerto, hingga Pasuruan, tidak akan mendapat subdisi upah,” tegasnya.
Dalam kaitan dengan itu, Said Iqbal meminta, agar pelaksanaan subsidi upah mengembalikan ke penerima yakni ke semua pekerja, termasuk yang menjadi anggota BPJS ketenagakerjaan atau tidak. Jangan hanya dibatasi bagi buruh yang terdaftar di dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Rakyat Indonesia kan sama. Jangan membuat kebijakan yang diskriminatif. Kalau ada buruh yang tidak ikut BPJS yang salah adalah pengusaha yang tidak mendaftarkan buruh tersebut sebagai peserta BPJS. Jadi, tidak adil kalau mereka tidak diberikan subdisi upah atas sesuatu yang bukan kesalahannya,” kata Said Iqbal.
Kedua, penerima subsidi upah adalah buruh yang bergaji minimal upah minimum di daerahnya. “Di Kabupaten Bekasi UMK nya adalah Rp 4,79 juta. Jadi, dengan skema subsidi upah diberikan kepada buruh yang mendapatkan upah minimum, buruh di Bekasi dan kota-kota industri yang lain pun akan mendapatkan subdisi upah,” kata Said Iqbal.
Ketiga, dengan skema ini, tentunya akan terjadi lonjakan terhadap penerima subdisi upah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyesuaikan anggaran yang diperlukan agar mencukupi.
“Intinya, jangan sampai program yang baik ini justru menimbulkan kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil terhadap kaum buruh,” tegas Said Iqbal.