REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengapresiasi, tren kasus Covid-19 di Indonesia melandai. Namun, ia mengingatkan positivity rate Covid-19 Indonesia masih di atas 5 persen.
"Meski kasus Covid-19 di Indonesia melandai, kita masih dalam fase positivity rate di atas 5 persen. Artinya, kasus Covid-19 yang ditemukan dengan kasus Covid-19 yang ada di masyarakat ternyata masih lebih sedikit yang ditemukan," ujarnya dalam sebuah konferensi virtual, Rabu (6/4/2022).
Sehingga, ia meminta klaim bahwa Covid-19 di Indonesia membaik harus disikapi hati-hati. Karena harus dilihat daerah per daerah. Kini, ia menyebut Covid-19 memasuki tahun ketiga dan ada kecenderungan orang sudah bosan, jenuh, ingin Covid-19 segera berakhir semakin kuat.
Bahkan, perasaan ini terjadi di level negara. Dicky mengakui, banyak negara yang akhirnya mendeklarasikan endemi. Status inilah yang menjadi dasar untuk melakukan pelonggaran.
"Tetapi sekali lagi, virus ini tidak terpengaruh dengan deklarasi. Dia adalah makhluk yang diciptakan dengan hukum biologinya sendiri dan dia patuh," katanya.
Ia menegaskan, situasi pandemi ini dideklarasikan oleh organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) dengan adanya kriteria secara internasional. Kemudian, kalau menyatakan status ini berakhir atau turun jadi epidemik, endemik atau sporadik maka mau tak mau harus ada pencabutan status dari WHO.
Ia menambahkan, secara de facto terbagi statusnya secara sporadis, endemik dan epidemik. Endemik dan sporadis artinya kasus terkendali. Ia mengklarifikasi, nantinya ketika statusnya diturunkan jadi endemi bukan berarti tanpa kasus Covid-19 baru.
Ia menjelaskan, kasus Covid-19 masih tetap ada tetapi stabil dan kemudian berdampak pada fasilitas kesehatan termasuk dampak kematian. Menurutnya, kesalahan persepsi ini perlu diluruskan.
"Pandemi bisa berakhir kalau ada obat atau vaksin secara efektif, adanya strategi masyarakat atau ada kekebalan yang timbul. Tiga hal ini jadi rujukan untuk melihat kapan pandemi berakhr," ujarnya.
Dicky juga meminta karakter virus SARS-CoV2 harus dipelajari untuk menjadi modal bagaimana bisa keluar dari masa kritis saat ini. Ia menjelaskan, modal kekebalan tubuh (imunitas) yang diperoleh lewat vaksinasi jadi penting karena kalau cakupan vaksinasi tidak memadai, apapun variannya bisa berdampak pada kematian yang besar.
Ia menambahkan, ini yang terjadi di Hongkong. Lanjut usia (lansia) di Hongkong tidak mau divaksin karena merasa tidak percaya dengan vaksinasi produksi Cina. Akhirnya berdampak kepada mereka tak punya imunitas dan berujung fatal.