Selasa 05 Apr 2022 19:18 WIB

Enam Hal yang Harus Dikawal Setelah UU TPKS Disahkan

RUU TPKS ditargetkan diketok palu sebelum rapat paripurna 14 April.

Sejumlah massa aksi melaksanakan unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional itu menuntut pemerintah untuk mewujudkan sistem perlindungan sosial yang tidak diskriminatif dan segera mengesahkan RUU TPKS yang pro terhadap korban kekerasan. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Badan Legislasi (Baleg) DPR urung menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan tingkat I dari RUU TPKS. Hari ini, mereka masih melakukan harmonisasi terkait redaksional di tingkat tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin).

"Keputusan tingkat I kan dan kita usahakan besok siang jam 1, di undangan sudah saya kirim ke Pak Lodewijk karena yang bertanda tangan itu Wakil Ketua (DPR) Bidang Korpolkam," ujar Wakil Ketua Baleg Willy Aditya di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/4/2022).

Tahap timus dan timsin dilakukan untuk memperbaiki hal-hal yang bersifat redaksional dalam RUU TPKS, seperti penggunaan diksi dan tanda baca. Karenanya, pihaknya tak memaksakan dilakukannya rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I.

"Kita targetkan selesai hari ini, karena ada 90 poin yang diharmonisasi, yang disinkronisasi. Sejauh ini sudah selesai separuh, sudah sampai tadi 42 dari 91, sudah separuh dan memang kita targetkan hari ini," ujar Willy.

Baleg, kata Willy, sudah bersurat kepada pimpinan DPR agar RUU TPKS dapat disahkan dalam rapat paripurna terdekat. Pasalnya, masa sidang DPR akan menutup masa sidangnya pada 14 April mendatang.

"Kita targetkan rapurnya masuk ya sebelum penutupan 14, karena saya sudah bersurat ke pimpinan dan kita tunggu ini Bamus terdekat. Yang penting komunikasi sama pimpinan sudah ada untuk masuk ke rapur," ujar Ketua panitia kerja (Panja) RUU TPKS itu.

Diketahui, Panja RUU TPKS sudah menyepakati sejumlah hal dalam rapat yang dilakukan lebih dari sepekan kemarin. Salah satunya adalah menyepakati adanya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A RUU TPKS yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR.

Dalam Pasal 7A Ayat 1 dijelaskan tiga kategori yang dapat dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Pertama, setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman, gambar, atau tangkapan layar.

Kedua, orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Terakhir, melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Ketiga kategori tersebut dapat dipidana karena melakukan kekerasan berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta denda paling banyak Rp 200 juta.

Pasal 7A Ayat 2; "Dalam hal perbuatan sebagaimana pada Ayat 1 dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan, pengancaman, memaksa, menyesatkan, atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau paling banyak Rp 300 juta".

Willy Aditya mengatakan, DPR tak bisa menampung seluruh aspirasi terkait kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Salah satunya adalah dicabutnya Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Gini, kalau permintaan semua teman-teman itu diakomodir, ya mabuk lah kita," ujar Willy.

Kendati demikian, panitia kerja (Panja) RUU TPKS justru memasukkan materi muatan terkait dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF). Poin tersebut diketahui merupakan usulan dari sejumlah kelompok masyarakat.

"Bayangkan, victim trust fund tidak ada di (DIM) DPR-pemerintah, tahu-tahu bisa masuk. Kurang apa komitmen kita terhadap teman-teman itu," ujar Willy.

Selain tak mencabut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, aborsi tak dimasukkan ke dalam RUU TPKS. Hal itu dilakukan agar tak adanya tumpang tindih antara RUU TPKS dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Berdasarkan penjelasan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, perkosaan tak masuk ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Sementara itu, aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam 75 Ayat 1 UU Kesehatan dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.

Namun, terdapat pengecualian untuk dua hal yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan. Pertama adalah indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

"Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan," tertulis dalam poin kedua ihwal pengecualian melakukan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2.

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement