Senin 04 Apr 2022 17:20 WIB

Pusham UII Nilai Vonis Mati Herry Wirawan Paradigma Balas Dendam

Vonis PT Bandung terhadap Herry Wirawan dinilai masih bisa dikasasi di MA.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022). Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan 13 santriwati sekaligus diminta membayar restitusi (penggantian kerugian) kepada para korban sebesar Rp331 juta. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022). Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan 13 santriwati sekaligus diminta membayar restitusi (penggantian kerugian) kepada para korban sebesar Rp331 juta. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menanggapi dikabulkannya banding yang diajukan jaksa dalam kasus pencabulan 13 santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan.

Peneliti Pusham UII Despan Heryansyah menyayangkan vonis tersebut. Menurutnya, vonis penjara seumur hidup sudah tepat diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Apalagi dalam vonis terbaru ini, ia menyoroti belum begitu tegas memberikan restitusi kepada korban.

Baca Juga

"Putusan pengadilan tinggi menjatuhkan hukuman mati tetapi juga tidak mempertegas restitusi bagi korban, ini salah satu tanda cara berhukum kita yang belum beranjak dari paradigma balas dendam kepada pelaku bukan paradigma perlindungan korban," kata Despan kepada Republika, Senin (4/4/2022).

Despan menilai hukuman mati sejatinya melanggar hak kodrati seseorang yang sebenarnya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Sebab hak itu, lanjut dia, melekat pada setiap individu sehingga tidak dapat dicabut oleh siapapun termasuk oleh negara.

"Sayangnya konstitusi kita termasuk juga UU Perlindungan anak, keliru dalam menafsirkan apa yang dimaksud non derogable rights, sehingga masih mengakui hukuman mati bahkan kebiri kimia sampai hari ini," ujar Despan.

Despan mengingatkan bahwa vonis ini belum berkekuatan hukum tetap. Sehingga menurutnya masih ada kesempatan kasasi di Mahkamah Agung untuk membangun preseden menolak hukuman mati.

"Sekalipun (kasasi) sulit tapi tetap layak dicoba. Hukuman mati ini, selain merugikan pelaku juga mencoreng sistem hukum Indonesia di mata Internasional," ucap Despan.

Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding yang diajukan jaksa terkait kasus pencabulan terhadap 13 santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan. Berkat hal ini, hukuman Herry menjadi vonis hukuman mati dari awalnya hukuman penjara seumur hidup.

"Menerima permintaan banding dari jaksa/penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," kata hakim ketua sekaligus Ketua PT Bandung Herri Swantoro dalam keterangan resmi di situs PT Bandung pada Senin (4/4).

Pembacaan vonis berlangsung dalam sidang yang digelar secara terbuka pada Senin (4/4). Adapun dalam perkara ini, Herry tetap dijatuhi hukuman sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.

Hakim menilai perbuatan Herry Wirawan telah terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement