REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto kecewa lantaran Kota Bogor dianulir dari Forum Masyarakat Sipil 2022 akibat adanya Perda 10/2021 tentang Penanggulangan dan Pencegahan Penyimpangan Seksual (P4S). Ia pun menjelaskan dasar dari perda yang disahkan pada Desember 2021.
Bima Arya menjelaskan, Perda ini merupakan inisiatif dari DPRD Kota Bogor atas aspirasi dari konstituen yang mengkhawatirkan tingginya angka kasus HIV/AIDS, KDRT, dan berbagai penyakit sosial lainnya. “Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor juga melihat bahwa fenomena tersebut merupakan persoalan yang harus diatasi untuk menuju kota yang ramah dan layak untuk keluarga seperti yang dinyatakan secara resmi dalam Visi kota Bogor 2019-2024,” kata Bima Arya, Rabu (30/3/2022).
Bima Arya mengatakan, ia sangat memahami bahwa setiap produk hukum dari pemerintah kota tidak boleh bertentangan dengan prinsip Universal Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, Pemkot Bogor melakukan banyak sekali perbaikan dan moderasi dari substansi Perda tersebut dalam pembahasan bersama-sama DPRD.
Sesuai dengan prosedur hukum dan ketatanegaraan di Indonesia, Bima Arya menegaskan, Perda tersebut juga telah melewati uji materil dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelum disahkan. “Saya memastikan bahwa tidak ada pasal dari Perda tersebut yang mengarah kepada diskriminasi atau persekusi. Substansi dari Perda tersebut lebih mengarah kepada edukasi dan perlindungan terhadap korban dari perilaku penyimpangan seksual,” tegasnya.
Kendati demikian, sambung dia, Pemkot Bogor sangat terbuka terhadap berbagai kritik dan pandangan terhadap perda tersebut serta membuka semua kemungkinan agar Perda tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Sejak 2014, Pemkot Bogor terus berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat sipil untuk melakukan edukasi tentang HAM, implementasi berbagai kebijakan strategis yang ramah HAM dan penyelesaian berbagai kasus lama yang bertentangan dengan nilai-nilai keberagaman.
Bima Arya menyebutkan, dalam membangun kota yang inklusif dan toleran, banya masuk nilai-nilai HAM dalam RPJMD, pembangunan infrastruktur bagi kaum difabel, pengembalian fungsi ruang publik untuk kepentingan umum, penguatan sistem meritokrasi dalam penempatan pejabat publik, dan perlindungan terhadap kebebasan menjalankan ibadah bagi semua keyakinan. “Selesainya konflik GKI Yasmin adalah beberapa contoh dari sekian banyak komitmen kuat kami dalam membangun kota yang inklusif dan toleran,” kata dia.