REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala daerah se-Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dalam acaranya di Istora Senayan, Selasa (29/3/2022) kemarin, menyatakan ikut mendukung Presiden Jokowi hingga tiga periode. Namun bentuk dukungan ini medapatkan kritikan dari berbagai pengamat politik tanah air.
Peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mempertanyakan bentuk dukungan para kepala desa di acara APDESI tersebut. "Tugas dan fungsi kepala desa bukan melakukan politik praktis seperti itu," kata Siti Zuhro, kepada wartawan, Rabu (30/3/2022).
Siti Zuhro menegaskan menurut Konstitusi Indonesia yang mengusung capres dan cawapres itu adalah partai politik, bukan kepala-kepala desa. Karena itu, ia menyindir model kebulatan tekad seperti itu sangat tidak mendidik dan tidak tepat, karena justru akan membingungkan.
"Apalagi amanat Konstitusi sudah jelas jabatan presiden hanya dua periode. Dukungan tiga periode akan menimbulkan kontroversi dan resistensi karena dinilai melanggar Konstitusi," katanya mengingatkan.
Hal yang sama disampaikan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor. Menurutnya pernyataan para kepala desa yang menyatakan dukungan kepada presiden tiga periode sangat tidak pantas.
Karena kepala desa adalah pelayan masyarakat yang harusnya taat terhadap konstitusi, bukan justru melanggengkan oligarki kekuasaan.
"Sepertinya kepala desa yang tergabung di APDESI ini memang diarahkan menjadi kepanjangan tangan oligarki politik, karena tidak jarang mereka jadi kepala desa karena oligarki kekuasaan di daerahnya," kata Firman.
Karena itu, Firman mengingatkan kepada seluruh perangkat desa dan pelayan publik masyarakat di desa agar pahami kembali tugas pokok dan fungsi mereka. Karena mereka itu bekerja digaji negara, bekerja melayani rakyat sesuai dengan arahan dan aturan konstitusi, bukan digaji oleh oligarki kekuasaan.
Firman mencontohkan bagaimana oligarki bisa memperngaruhi kepala desa, seperti kasus mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin. Ia memiliki kekuasaan mempertahankan dan mencopot struktur kepala desa, karena memang merancang di Kabupaten Bangkalan saat itu tidak ada pemilihan kepala desa, adanya kepala desa yang dia tunjuk.
"Dari sini kita lihat bahwa oligarki kekuasaan yakni Bupati bisa mengendalikan kepala desa. Nah ini yang kita tidak mau, jangan sampai kepala desa di seluruh Indonesia jadi seperti ini, mereka menyatakan dukungan agar kekuasaan mereka di desa bisa terjaga," paparnya.
Karena itu, Firman mengingatkan begitu bahayanya ketika oligarki kekuasaan di tingkat nasional ini bertemu dengan oligarki kekuasaan di tingkat desa. Dimana ia khawatirkan, kekuatan oligarki ini semakin kuat dan semakin menciderai nilai-nilai demokrasi yang sudah diatur dalam konstitusi dan UUD 1945.