REPUBLIKA.CO.ID, SOE -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan kunjungan kerja ke Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan Kamis (24/3) mendatang. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, kunjungan kerja Presiden ini untuk menunjukkan kepedulian dan komitmen pemerintah pusat dalam mengentaskan persoalan stunting.
"Bagi Presiden Jokowi, NTT selalu ada di hati dan BKKBN memastikan amanah dari Presiden untuk akselarasi penurunan stunting tetap dalam jalur yang tepat,” kata Hasto, dikutip dari siaran pers, Rabu (23/3).
Hasto yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional berharap, prevalensi kasus stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan dapat menurun dari 48,3 persen menjadi 43,01 persen di akhir 2022, serta dapat melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023. Sehingga pada 2024 bisa mencapai 29,35 persen.
Dalam kunjungan kerjanya ini, Jokowi akan meninjau langsung program-program yang dilakukan BKKBN dalam percepatan penururunan stunting di Timor Tengah Selatan. Di antaranya yakni pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting, pemeriksaan ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi balita, kunjungan ke rumah warga, serta proses pembangunan program bedah rumah serta peresmian rumah pompa air. Masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinir BKKBN.
Untuk diketahui, Kota Soe tercatat memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori 'merah'. Pemberian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stunting yang masih di atas 30 persen.
Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen.
Sementara sisanya, tujuh kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
Prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan kurang lebih bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita yang ada di Timor Tengah Selatan. Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki pemuncak nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas.
Bahkan standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO hanya mentoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen. Artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
Sedangkan berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 2020 terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk. Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga. Kondisi ini dinilai menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat.