REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Dessy Suciati Saputri, Antara
Kebijakan melepas harga minyak goreng kemasan ke harga pasar sudah diputuskan pemerintah sejak beberapa hari lalu. Kebijakan tersebut namun tidak langsung membuat pasokan minyak goreng tersedia di pasaran.
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mengatakan, pasokan minyak goreng di pasar tradisional masih cukup minim bahkan langka. Meskipun banyak dilaporkan pasokan minyak goreng di ritel modern mulai membanjir, nyatanya penyebaran stok di pasar belum merata.
"Pantauan kami di Jakarta, misalnya, barang kelihatan belum banjir. Jadi belum bisa dikatakan bahwa barang ada walaupun kelihatan di beberapa titik. Itu laporan di Jakarta, masih masih bisa dibilang adanya kelangkaan," kata Ketua Umum APPSI, Sudaryono, kepada Republika, Jumat (18/3).
Sudaryono mengatakan, pihaknya juga telah mencoba mengecek situasi pemasokan minyak goreng secara acak di wilayah Bengkulu dan Sulawesi Selatan, namun laporan yang diterima sama seperti di Jakarta. Melihat itu, ia menilai, pasokan yang disebut mulai membanjir baru sebatas di ritel modern yang itu notabene adalah minyak goreng kemasan. Sementara itu, pasar tradisional yang menyediakan minyak goreng kemasan dan curah belum mendapatkan banyak pasokan.
Seperti diketahui, kembali terisinya pasokan minyak goreng di toko ritel modern secara masif mulai terjadi sehari setelah pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada Selasa (15/3) lalu.
Sudaryono mengatakan, kemungkinan dibutuhkan waktu untuk bisa meratakan pasokan minyak goreng ke pasar tradisional. APPSI, kata dia, masih akan menunggu satu hingga dua hari ke depan ihwal ketersediaan pasokan minyak goreng untuk para pedagang.
Melihat perkembangan fenomena minyak goreng dalam beberapa waktu terakhir, APPSI menilai yang menjadi pokok permasalahan bagi pasar adalah kelancaran distribusi yang harus dikawal. Apalagi, untuk minyak goreng curah yang rawan diselundupkan dan digunakan industri yang semestinya tidak menggunakan curah.
"Sebab dari beberapa kejadian yang kami curigai, itu curah yang harus pergi ke pasar malah ke industri. Itu ada satu dua kejadian, yang tentu tidak bisa kita generalisasi," katanya. Apalagi, saat ini pemerintah memutuskan untuk menyubsidi minyak goreng jenis curah sehingga harus dipastikan barang subsidi itu sampai ke tangan masyarakat.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyarankan agar subsidi minyak goreng curah Rp 14 ribu per liter dilakukan bersifat tertutup dengan diberikan kepada orang per orang agar lebih tepat sasaran. "Idealnya subsidi minyak goreng sebaiknya bersifat tertutup saja. By name by address, sehingga subsidinya tepat sasaran. Sedangkan subsidi terbuka seperti sekarang berpotensi salah sasaran," kata Ketua Harian YLK Tulus Abadi dalam keterangannya.
Menurut dia, subsidi minyak goreng curah seharga Rp 14 ribu per liter berpotensi salah sasaran. Sebab, minyak murah gampang diborong oleh kelompok masyarakat mampu. "Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon," katanya.
YLKI mendesak pemerintah untuk memerketat pengawasan terkait HET minyak goreng curah dengan harga Rp 14 ribu per liter agar tepat sasaran. "Jangan sampai kelompok konsumen minyak goreng premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli, apalagi memborong minyak goreng nonpremium yang harganya jauh lebih murah," katanya.