REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua MK, Jimly As Shiddiqie menilai, rekonstruksi memulihkan kualitas demokrasi agenda terpenting yang harus segera digarap. Rekonstruksi untuk institusionalisasi (pelembagaan) politik maupun konsolidasi politik.
Pakar hukum tata negara itu mengatakan, yang terjadi saat ini merupakan proses pembongkaran kelembagaan politik (de-institusionalisasi) dari fungsi dasarnya. Kini terbalik, mana urusan privat dan mana urusan dinas (publik) campur aduk.
"Kita sulit menentukan ini pernyataan dalam kapasitas pejabat atau pernyataan pribadi. Setiap hari semua orang bicara, menggunakan kebebasan, kadang bukan urusannya dibicarakan juga, lalu ada orang lain mengutip, kacau ruang publik," kata Jimly, Rabu (16/3/2022).
Itu disampaikan dalam seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. De-institusionalisasi politik semakin besar akibat sistem yang ketat mengatur ruang politisi berlatar belakang pebisnis belum berjalan.
Maka itu, konflik kepentingan pejabat sulit terhindarkan. Kini, di pemerintahan kenyataannya 50 persen lebih pejabat politik pengusaha. Ikhtiar menjegal usaha de-institusionalisasi antara lain dengan mengusulkan sejumlah Undang-Undang (UU).
Misal, UU Larangan Konflik Kepentingan, reformasi UU PT, UU Penyiaran, UU Pemilu dan UU yang mengatur batas maksimum dinasti politik suatu partai hanya boleh dua generasi dan berjeda. Penguatan konsolidasi dan institusionalisasi politik.
Dua ini dirasa penting pula dilakukan demi mengikis budaya dan alam bawah sadar feodal yang masih jadi corak intrinsik partai politik. Jimly menyebut, warisan itu pertama nampak dalam perdebatan sistem tata negara Sidang BPUPK 1 Juli 1945.
Perdebatan runcing mengakibatkan sidang yang biasanya memakai sistem musyawarah akhirnya memakai sistem voting untuk menentukan apakah Indonesia memakai sistem kerajaan atau republik. Sekarang, setelah 76 tahun merdeka, ini belum selesai.
"Belum. Lihatlah partai-partai yang lahir setelah reformasi, cepat sekali jadi kerajaan, semuanya. Dinasti politik itu merajalela di mana-mana," ujar Jimly.
Berkolaborasi dengan oligarki ekonomi, demokrasi makin menunjukkan gejala makin lama makin mahal, butuh biaya, pemilik modal semakin besar perannya menentukan proses-proses politik. Maka, ekonomi, dinasti, politik campur aduk sekarang.
Selain mencegah de-institusionalisasi, penguatan pelembagaan dan konsolidasi politik disebut berguna bagi Indonesia untuk memperkuat tata kelola negara. Yang mana, bertumpu sistem dan bukan corak feodal yaitu bertumpu ke figur pemimpin.
Ia mengingatkan, semakin besar dan modern suatu organisasi, ketergantungannya kepada sistem semakin tinggi. Sedangkan, semakin kecil dan tradisional suatu organisasi, ketergantungannya kepada faktor figur justru semakin kuat.
"Indonesia sebagai organisasi besar negara modern yang jadi kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia memerlukan penguatan sistem leadership, bukan figur," kata Jimly.