Selasa 15 Mar 2022 18:53 WIB

Menteri PPPA: Setop Joki Anak di Pacuan Kuda Bima

Menteri PPPA Bintang Puspayoga minta penggunaan joki anak di pacuan kuda Bima disetop

Joki beradu kecepatan saat mengikuti lomba pacuan kuda tradisional (ilustrasi). Menteri PPPP meminta setop penggunaan joki anak dalam pacuan kuda di Bima, NTB
Foto: Antara/Arnas Padda
Joki beradu kecepatan saat mengikuti lomba pacuan kuda tradisional (ilustrasi). Menteri PPPP meminta setop penggunaan joki anak dalam pacuan kuda di Bima, NTB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga meminta penggunaan joki anak dalam tradisi pacuan kuda di Bima, Nusa Tenggara Barat, agar dihentikan karena sangat membahayakan anak.

"Saya berharap penggunaan joki anak di arena pacuan kuda dapat segera dihentikan, karena ini adalah bentuk eksploitasi terhadap anak. Saya mendorong Pemprov NTB, Pemda Bima, pemilik kuda, pelatih, masyarakat sekitar dan orang tua joki cilik mencegah terjadinya eksploitasi pekerja anak dalam tradisi pacuan kuda," kata Menteri PPPA melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (15/3/2022).

Baca Juga

Desakan itu disampaikan Menteri Bintang menyusul meninggalnya seorang joki anak usia 6 tahun di Bima, NTB, setelah terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya saat latihan pada 9 Maret 2022.

Menteri PPPA sangat menyesalkan penggunaan joki anak dalam kegiatan yang sangat membahayakan keselamatan jiwa itu. Korban melakukan latihan di arena pacuan kuda tradisional di Desa Panda, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima.

Korban mengalami luka parah di bagian kepala akibat terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya. Peristiwa ini bukan pertama kali terjadi.

Sebelumnya juga pernah ada joki yang meninggal pada 2019, bahkan beberapa joki cilik lainnya mengalami luka dan kecacatan. Penggunaan joki cilik kerap dilakukan karena telah menjadi tradisi di Bima.

Penggunaan joki anak usia 6-18 tahun di Bima menjadi tradisi karena berat badan joki anak jauh lebih ringan daripada berat badan joki dewasa. Sehingga mengurangi berat beban yang dibawa kuda pacuan dan membuat kuda pacuan berlari semakin cepat. Namun joki anak berpacu tanpa menggunakan pelana sehingga membahayakan keselamatan anak.

"Permasalahan yang telah disebutkan itu bukan hanya tentang masalah tradisi, tapi juga berkenaan dengan isi dari pasal 32 di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang menyebutkan bahwa anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual serta semua bentuk pekerjaan yang membahayakan atau yang mempengaruhi pendidikan atau berdampak buruk terhadap perkembangan kesehatan anak, baik fisik, mental, spiritual, moral maupun sosial," ujar Bintang.

Pihaknya juga mendorong agar LSM perlindungan anak, Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI), tokoh agama, budayawan dan akademisi untuk dapat mengedukasi masyarakat tentang aspek perlindungan anak, instrumen kebijakan hukum terkait perlindungan anak, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, kaitan dengan eksploitasi ekonomi pada anak serta pemetaan masalah eksploitasi anak pada pengembangan minat dan bakat anak.

Selain itu, menurutnya, perlu disusun perda keselamatan penyelenggaraan pacuan kuda yang tidak melibatkan anak, yang berhubungan dengan olahraga, budaya dan kesenian yang berbahaya bagi keselamatan anak, perlu pengaturan tentang perizinan, standardisasi, prosedur dan sanksi bagi yang melanggar untuk mencegah kasus serupa terjadi.

"Selain itu, perlu moratorium (penghentian sementara) dengan instruksi gubernur tekait penyelenggaraan pacuan kuda yang memastikan tidak melibatkan usia anak sampai dengan 18 tahun sebagai joki," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement