Selasa 15 Mar 2022 18:42 WIB

Dugaan Unlawful Killing Terhadap Dokter Sunardi Didalami

Jika Komnas HAM menyimpulkan unlawful killing, proses hukum dimungkinkan.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menunjukan bukti  rekaman CCTV kronologi penangkapan terduga teroris dokter Sunardi saat konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta, Selasa (15/3/2022). Komnas HAM menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap Densus 88 terkait peristiwa penembakan terduga teroris dokter Sunardi di kawasan Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu (9/3/2022) lalu. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel sebelumnya sudah menduga langkah Komnas HAM) memanggil Densus 88 Antiteror Polri untuk menguji apakah penembakan terhadap dokter Sunardi tergolong sebagai lawful killing atau unlawful killing. Jika disimpulkan sebagai unlawful killing, maka boleh jadi akan ada proses hukum seperti pada kasus KM 50.

Reza menyayangkan, tidak ada mekanisme untuk menguji benar tidaknya dokter Sunardi adalah bagian dari jaringan terorisme. Sebab yang bersangkutan sudah tewas ditembak Tim Densus 88 Antireror Polri, dengan alasan dokter Sunardi memberikan perlawanan pada saat hendak ditangkap.

Namun, kata dia, sebenarnya ada mekanisme untuk mengujinya yaitu melalui posthumous trial

"Andai kita mengenal posthumous trial, persidangan bagi terdakwa yang sudah meninggal, maka diharapkan akan ada kepastian status para terduga teroris di mata hukum," ungkap Reza.

Mekanisme posthumous trial perlu diadakan sebagai bentuk penguatan terhadap operasi pemberantasan terorisme. Apalagi ketika operasi Densus 88 menjatuhkan korban jiwa, kerap muncul kontroversi. Reza juga berpendapat, penting bagi Polri untuk melengkapi para personel Densus 88 dengan body camera. 

"Teknologi ini akan bermanfaat untuk kepentingan pemeriksaan jika nantinya muncul tudingan bahwa Densus 88 telah melakukan aksi brutal terhadap terduga teroris," tutur Reza.

Menurut Reza, body camera, dalam berbagai studi, juga ampuh mencegah aparat menggunakan kekerasan secara berlebihan. Tapi masalah ini tidak hanya sebatas menyangkut hidup matinya dokter Sunardi dan benar tidaknya statusnya sebagai anggota jaringan terorisme.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sukoharjo juga angkat bicara terkait meninggalnya dokter Sunardi yang diduga terlibat jaringan terorisme. IDI Sukoharjo menyampaikan duka cita.

"Secara profesi medis, almarhum dikenal sebagai sosok dengan jiwa sosial yang tinggi dan selalu aktif turun menangani pasien saat ada bencana alam. Selain itu, beliau juga rajin mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP),” kata dr Arif Budi Satria, SpB, Ketua IDI Sukoharjo dalam keterangan tertulis, Senin (14/3/2022).

Arif juga menegaskan, keterkaitan IDI dan profesi dokter dengan dugaan terorisme adalah kontradiksi. Mengingat, selama ini IDI dan dokter fokus pada kemanusiaan sementara yang ada saat ini berkaitan dengan terorisme.

 

“Agar tidak terjadi distorsi, kami meminta masyarakat agar tidak menyangkutpautkan kasus terorisme yang disangkakan kepada Sunardi dengan profesinya sebagai dokter. Perlu ada koreksi penyebutan, jangan almarhum dokter Sunardi, tapi Bapak Sunardi, mungkin itu bisa jadi salah satu bentuk komunikasi. Karena sebagaimana bahwa profesi-profesi lainpun bisa mengalami hal yang sama. Pengawasan dan pembinaan terus dilakukan oleh IDI Sukoharjo supaya tidak terlibat dalam kegiatan yang membahayakan orang lain,” tegasnya.

photo
Terorisme (ilustrasi) - (republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement