REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Arsul Sani merespons adanya usulan soal amandemen masa jabatan presiden. Menurut pandangan pribadinya, usulan tersebut sebaiknya tidak untuk kepentingan Pemilu 2024.
"Kalau kepentingannya untuk yang akan datang lagi maka kalau dikritisi itu sebagai kepentingan kekuasaan sesaat tidak bisa karena ini tidak terkait dengan katakanlah pemerintahan yang saat ini," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (7/3/2022).
Menurutnya, jika niatnya menyempurnakan sistem ketatanegaraan, termasuk misalnya suatu ketika pemilu itu harus ditunda dengan alasan-alasan yang terbatas, hal tersebut tidak untuk diterapkan sekarang, melainkan harus diterapkan pada pemilu berikutnya. "Karena yang akan datang itu kan siapa yang memerintah kan belum tahu jadi tidak bisa ini kan dituduh ini untuk sebagai langkah mempertahankan status kekuasaan itu. Pandangan saya seperti itu," ujarnya.
Ia menegaskan pimpinan MPR tidak pernah ada pembicaraan soal amandemen lain selain terkait dengan GBHN sampai saat ini. Arsul mengatakan MPR berpatokan pada pasal 37 UUD 1945 dalam melakukan amandemen.
"Apa itu? Yang pertama ada minimal sepertiga anggota MPR yang mengajukan. Kedua, apa yang harus diajukan harus jelas disampaikan berarti terbuka untuk publik tentu mengkritisi memberikan sudut-sudut pandang perspektif publik dan kalau itu sudah diberikan berarti terbuka juga partisipasi publik untuk memberikan input masukan itu. Jadi paling penting itu ya," kata dia.
Sebelumnya Wakil Sekjen (Wasekjen) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim, mengusulkan digelar rembuk nasional untuk mengakhiri spekulasi wacana penundaan Pemilu 2024. Luqman menjelaskan, secara teknis dalam rembuk nasional tersebut akan melibatkan presiden, seluruh ketua umum partai politik yang memiliki kursi di DPR, pimpinan DPR, DPD dan MPR, ketua atau kepala lembaga negara lain, serta pimpinan dari beberapa organisasi kemasyarakatan, dan perwakilan pihak-pihak lain yang dianggap berkompeten.
Dalam forum rembuk nasional ini juga diharapkan bisa menghasilkan dua kesepakatan. Pertama adanya kesepakatan bersama untuk menghormati konstitusi dan memastikan Pemilu tahun 2024 tetap berjalan pada tanggal 14 Februari tahun 2024.
Kedua, kesepakatan penyempurnaan konstitusi negara, misalnya pengaturan melalui amandemen undang-undang dasar mengenai pokok-pokok haluan negara (PPHN). "Juga menurut saya memang penting diatur ke depan dalam penyempurnaan konstitusi kita itu perlu adanya norma yang mengatur apabila negara dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan pemilu bisa dijalankan, lalu apa yang kemudian dan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengatasi masalah itu," kata dia.
"Jadi saya kira kalau dalam bahasa agama apa yang dilakukan oleh PKB melalui ketua umum kemarin itu kami anggap sebagai ijtihad, kalau itu benar pahalanya dua, kalau salah pahalanya satu, jadi masih dapat pahala kita, kurang lebih itu," imbuhnya.