Sabtu 05 Mar 2022 14:15 WIB

Pakar: Penundaan Pemilu Gerbang Masuk Otoritarianisme

'Bermain-main dengan masa jabatan itu melanggar prinsip konstitualisme.'

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengingatkan elite politik untuk tak bermain-main dengan wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengingatkan elite politik untuk tak bermain-main dengan wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengingatkan elite politik untuk tak bermain-main dengan wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu). Sebab, hal tersebut akan berdampak langsung kepada wacana perpanjangan masa jabat presiden yang dapat menjadi pintu masuk otoritarianisme.

"Bermain-main dengan masa jabatan itu melanggar prinsip konstitualisme, melanggar juga prinsip demokrasi, sistem presidensial, dan itu yang membuat sering kali pintu masuk atau jebakan ke arah otoritarianisme," ujar Zainal dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (5/3/2022).

Baca Juga

Wacana tersebut dapat terealisasi jika elite-elite partai politik yang mendukungnya setuju untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika hal tersebut terjadi, ada alasan bagi mereka untuk memperpanjang masa jabatan dengan alasan taat konstitusi.

"Ide-ide untuk memperpanjang masa jabatan umumnya muncul di negara-negara tidak demokratis atau negara yang tidak menjadi contoh baik dalam demokrasi," ujar Zainal.

Ia menceritakan, banyak cerita kelam di berbagai negara yang melakukan praktik perpanjangan masa jabatan pimpinannya. Hal terburuk, dualisme di kursi pemerintahan akan terjadi yang berujung pada kudeta yang dilakukan oleh salah satu pihak.

"Contoh misalnya Guinea yang di ujungnya akhirnya Guinea itu mengalami kudeta militer. Presiden yang memperpanjang masa jabatannya untuk tiga periode itu mengalami kudeta militer," ujar Zainal.

Dalam forum diskusi yang sama, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi mempertanyakan basis data yang digunakan elite Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengeklaim bahwa penundaan Pemilu 2024 merupakan aspirasi masyarakat. Namun berdasarkan hasil survei pada Desember 2021, hasilnya berbanding sebaliknya.

"Golkar, 57 persen pemilihnya mengatakan sebaiknya pemilu tetap dilaksanakan di 2024 dan hanya sedikit atau minoritas yang menyatakan pemilu sebaiknya ditunda hingga 2027," ujar Burhanuddin.

Hal senada juga terjadi kepada massa pemilih PKB. Dalam surveinya, mayoritas pemilih partai tersebut berpandangan berbeda dengan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar yang pertama kali mengusulkan penundaan Pemilu 2024.

"Responden kami mengatakan memilih PKB, hampir 70 persen pemilih PKB sendiri juga tidak setuju dengan klaim ketua umumnya Cak Muhaimin," ujar Burhanuddin. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement