REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, menunda pemilihan umum (pemilu) 2024 adalah melanggar konstitusi. Namun, ia mengungkapkan tiga cara jika wacana tersebut serius ingin dilakukan oleh pemerintah.
Pertama lewat perubahan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, hal yang perlu diubah bukanlah pasal-pasal dalam UU yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 yang terkait dengan pemilu.
"Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma 'Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu'," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (27/2).
Selanjutnya dalam Ayat 8, mengatur semua jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UUD, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum. Dengan penambahan dua ayat tersebut dalam Pasal 22E UUD 1945, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Para anggota dari lembaga negara tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal, dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi pejabat Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana pejabat Presiden Soeharto di awal Orde Baru.
Cara kedua adalah dengan presiden mengeluarkan dekrit penundaan Pemilu 2024. Hal tersebut juga sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu.
"Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah," ujar Yusril.
"Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar atau pengkhianatan terhadap bangsa dan negara," sambungnya.
Lewat cara kedua ini, ia mempertanyakan keberanian dari Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan dekrit. Hal yang sama yang pernah dilakukan oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.
Namun ketika saat itu Yusril masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, ia memberikan nasihat kepada Gus Dur bahwa tindakan tersebut inkonstitusional yang sangat berisiko. Pasalnya, dekrit tersebut haruslah didukung oleh kekuatan militer.
"Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu (mengeluarkan dekrit), risiko politiknya terlalu besar," ujar Yusril.
Menurut Yusril, sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang, TNI dan Polri juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai panglima tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi bumerang bagi Presiden Jokowi sendiri.
Terakhir, dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi UUD 1945, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 22E UUD 45 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden serta DPRD. Lalu, Pasal 7 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun, sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.
"Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," ujar Yusril.
Namun ia menegaskan, zaman telah berubah dan rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara. Mahkamah Konstitusi (MK) juga dapat menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.
"Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada penyelewengan terhadap UUD 45. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," ujar Yusril.