Kamis 24 Feb 2022 06:07 WIB

Mempertanyakan Maksud Pergelaran Wayang Gus Miftah

Sosok wayang mirip Ustadz Khalid dipukuli karena dianggap mengancam dunia pewayangan.

Karakter wayang yang mirip dengan sosok Ustadz Khalid Basalamah (kiri) muncul di pertunjukan wayang yang digelar Gus Miftah di Ponpes Ora Aji. Dalang Ki Warseno memainkan adegan
Foto: Tangkapan layar
Karakter wayang yang mirip dengan sosok Ustadz Khalid Basalamah (kiri) muncul di pertunjukan wayang yang digelar Gus Miftah di Ponpes Ora Aji. Dalang Ki Warseno memainkan adegan

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Isu dunia perwayangan kembali menghangat. Setelah sebelumnya sempat mereda, kini keramaian muncul menyusul pergelaran wayang yang digelar di pengajian Gus Miftah.

Dalam pergelaran itu, muncul sosok wayang yang mirip dengan Ustadz Khalid Basalamah. Wayang itu lantas dipukuli karena dianggap mengancam dunia perwayangan. Sang dalang bahkan sempat berdiri ikut membanting-banting lakon tersebut.

Baca Juga

Cuplikan aksi dalang ini beredar luas di Twitter dan memicu kontroversi. Tak sedikit netizen bertanya-tanya, apakah harus sampai seurakan itu dalam menyampaikan protes?

Mundur sedikit ke belakang, keramaian soal wayang bermula setelah potongan penjelasan Ustadz Khalid Basalamah beberapa tahun silam mendadak beredar di media sosial.  Khalid Basalamah disebut telah mengharamkan wayang saat memberikan jawaban di sesi tanya jawab pengajian. Memang di sana tidak ada kata haram. Namun ada kesan bahwa wayang itu dilarang.

 

Ustadz Khalid lantas mengklarifikasi, meminta maaf dan ia hanya mendorong agar Islam dijadikan landasan sebagai sebuah tradisi. Klarifikasi yang disampaikan Ustadz Basalamah ternyata belum menyelesaikan persoalan. Ia dilaporkan ke polisi, namun laporan tersebut ditolak.

Tak sedikit yang membawa ceramah Ustadz Khalid pun ke cakupan lebih luas yakni soal budaya ke arab-araban yang ingin menggantikan tradisi di tanah air. Pemahaman  Khalid Basalamah dianggap berbahaya bagi nilai budaya lokal. 

Pola pandang yang disampaikan Ustadz Khalid sebetulnya bukanlah hal baru. Sudah banyak cara pandang serupa yang menganggap Islam mesti dijadikan sebagai standar budaya.  Namun bagi kalangan moderat, budaya dan Islam tidak selalu dibenturkan. Kecuali, memang sudah masuk ke sesuatu yang sifatnya Aqidah. Seperti memberi sesajen atau percaya kepada roh-roh halus.  Hal itu jelas dilarang.  Sementara soal wayang, bisa dijadikan sebagai sarana dalam berdakwah seperti yang dilakukan para wali ketika menyebarkan Islam di tanah air.

Dalam kasus pergelaran wayang di pondok pesantren Gus Miftah, muncul pertanyaan penulis, mengapa narasi yang dibangun tidak menyampaikan bentuk Islam moderat? Mengapa lakon yang ditampilkan cenderung ke arah personal? Mengapa lakon yang diperlihatkan justru mengarah ke kebencian dengan simbol-simbol tertentu?

Tentu, jika alur yang dibangun, misalnya, sang Ustadz diajak berdiskusi dan berbuat baik bersama untuk kebaikan Indonesia akan lebih berkesan. Sehingga nilai yang didorong adalah kebersamaan sebagai sebangsa se-tanah air.

Kalau pun yang ingin ditampilkan bentuk penolakan, bisa dibuat sesi perdebatan. Adu gagasan dengan gagasan yang lain. Keluarkan pendapat atau cerita yang itu lebih dikena publik bahwa budaya itu tidak perlu dipersoalkan.

Bukan langsung hantam dan pukul menggunakan kata-kata kasar sehingga kesan yang ditampilkan justru seolah urakan. Saya berpendapat, pesan yang ditangkap adalah ketidaksukaan pada sosok tertentu, bukan nilai-nilai yang diangkat.  

Ada satu tulisan menarik yang diunggah di laman Muhammadiyah.or.id terkait wayang berjudul, "Wayang, Kebudayaan Jawa, dan Muhammadiyah." Dalam tulisan itu, penulis menggambarkan bagaimana posisi budaya dalam Islam dan munculnya pemahaman revivalis.

Bagi Muhammadiyah, kebudayaan dan kesenian hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ‘isyyan (kedurhakaan) dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah). Apalagi jika dimanfaatkan untuk sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan kepentingan sejarah. Hal itu berbeda dengan kelompok revivalis yang mengedepankan simbol dan identitas luaran daripada substansi.

Tulisan ini tidak menghantam personal, namun menyampaikan argumen-argumen yang menggambarkan bagaimana budaya dan Islam bisa saling bergandengan. Tulisan itu juga memberi contoh bagaimana kader Muhammadiyah berdakwah dengan menggunakan wayang. Salah satunya Subur Widadi, seorang kader di Purwokerto.  Subur menggunakan salawat yang dikemas dengan syari-syari Banyumasan pada gelaran wayangnya.

Andai saja wayang yang digelar di ponpes Gus Miftah tidak menampilkan sesi penghantaman secara personal, dan menggali jalan cerita dengan riset lebih dalam dan menarik, tentu bisa jauh lebih diapresiasi. Mengemas narasi secara cantik dan mengena.

Sementara itu, Budayawan Sudjiwotedjo berpendapat, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk melestarikan wayang adalah dengan melarisi perajin wayang. Namun ia juga menyindir orang yang menggunakan wayang untuk menyampaikan kebencian.  Sindiran itu ia sampaikan dalam bentuk dialogis antara kakek perajin dan pembeli.  

“Tumben Sampeyan beli wayang?” kakek2 perajin wayang. “Buat pajangan?”

“Bukan, Kek. Untuk nggebukin orang!”

Kakek mengembalikan duit calon pembelinya. “Saya gak jd jual.”

“Berarti kakek ini Kadrun!?”

“Terserah situ! Pokoknya saya gak mau dimanfaatin. Saya punya harga diri.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement