REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman, menyatakan, ketersediaan minyak goreng di tengah masyarakat masih langka. Ombudsman juga menyebut ada kecenderungan pembatasan pasokan hingga dugaan penyusupan stok di ritel modern ke ritel atau pasar tradisional.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers, Selasa (22/2/2022), menyatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung di lapangan melalui perwakilan Ombudsman setiap daerah. Kecenderungan pembatasan stok hingga dugaan penyusupan stok minyak goreng berdasarkan laporan dari daerah.
"Dari beberapa informasi yang kami kumpulkan dari daerah dan apa yang kita lihat, ternyata minyak goreng itu masih langka," kata Yeka.
Adapun, pembatasan pasokan yang dimaksud yakni stok minyak goreng di simpan di gudang-gudang ritel modern dan tidak ditampilkan di etalase. Itu terjadi di wilayah Sumatra Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, Papua, dan Jakarta.
Pembatasan itu, menurut Yeka bisa disebabkan oleh distributor yang membatasi pengiriman ke agen, sehingga agen minyak goreng ikut melakukan pembatasan ke ritel modern. Menurut Yeka, jika itu memang terjadi, bisa jadi merupakan respons dari pelaku usaha yang kurang puas dengan kebijakan pemerintah. Pasalnya, tercatat sejak 2020 pemerintah telah mengeluarkan enam kebijakan terkait minyak goreng dan silih berganti.
"Apakah ini (pembatasan) memunculkan pemikiran baru sebagai respon belum berhasilnya upaya pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga dan menjamin ketersediaan sawit? Ini yang perlu kami kaji berikutnya," ujar dia.
Sementara itu, terkait penyusupan stok minyak goreng dari ritel modern, Yeka menyebut terjadi di Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
"Jadi karyawan ritel modern menjual keluar dari gudang ritel ke pedagang ritel tradisional," katanya. Selain itu, juga ditemukan agen distributor langsung menjual minyak goreng kepada pedagang ritel tradisional dan pasar tradisional dengan harga di atas HET," ujar dia.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, mengatakan, Kementerian Perdagangan harus dapat memastikan kebijakan domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) sebesar 20 persen dari total ekspor minyak sawit (CPO) harus diterapkan. Pasalnya, jika itu tidak dijalankan keseluruhan, akan menimbulkan persaingan usaha yang tidak adil antara perusahaan. Baik itu antar eksportir sawit maupun produsen sawit yang khusus beroperasi di dalam negeri.
"Apa kebijakan lanjutan yang baru untuk memastikan itu karena jangan sampai justru itu tidak menciptakan level playing field yang tidak sama antar pelaku usaha," ujarnya.