Senin 21 Feb 2022 16:30 WIB

Kapan Indonesia akan Melonggarkan Aturan Prokes Covid?

Pemerintah memastikan belum akan mengendurkan aturan prokes Covid-19.

Petugas dari Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Cimahi membagikan masker ke pedagang di Pasar Atas Cimahi, Kota Cimahi, Ahad (20/2/2022). BNPB bersama Pemerintah Kota Cimahi dan instansi terkait membagikan sedikitnya 100 ribu masker di 10 titik di Kota Cimahi dalam rangka program berbagi 15 juta masker di seluruh Indonesia. Program berbagi masker tersebut merupakan upaya agar masyarakat lebih patuh terhadap protokol kesehatan guna meminimalisir penyebaran Covid-19. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto:

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama menerangkan alasan di balik pelonggaran protokol di sejumlah negara lain. Beberapa negara tersebut pada dasarnya mempertimbangkan empat aspek kesehatan di negaranya.

"Aspek pertama, puncak kasus karena Omicron sekarang ini sudah terlewati, dan kasus mereka sekarang menurun," kata Tjandra dalam keterangannya, Ahad (20/2/2022).

Aspek kedua adalah jumlah orang yang mendapatkan vaksinasi lengkap sudah banyak sekali dan bahkan lebih dari 80 persen penduduk negara itu. Ketiga, jumlah rakyatnya yang mendapat vaksin booster juga sudah cukup banyak.

"Aspek keempat, fasilitas pelayanan kesehatan amat siap untuk menghadapi kalau kalau ada gejolak peningkatan kasus," tutur Tjandra.

Dalam hal ini, sambungnya,tentu tetap perlu diwaspadai kemungkinan adanya varian atau jenis baru di masa datang. Karena bukan tidak mungkin akan mengubah kebijakan yang sudah dibuat.

Inggris adalah salah satu negara dengan kebijakan endemi Covid-19. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan menetapkan rencana untuk mencabut aturan pembatasan virus corona sebagai bagian dari strategi untuk "hidup berdampingan dengan Covid-19".

Langkah itu diambil Inggris untuk mencapai jalan keluar yang lebih cepat dari pandemi dibandingkan negara-negara ekonomi utama lainnya. Ketika Hong Kong membangun unit isolasi dan Eropa mempertahankan aturan jarak sosial dan vaksinasinya, PM Johnson akan mengumumkan pencabutan persyaratan pandemi apa pun yang melanggar kebebasan pribadi, sehari setelah Ratu Elizabeth dinyatakan positif terjangkit virus corona.

Berdasarkan rencana yang telah disusun selama berminggu-minggu itu, Inggris akan menjadi negara besar pertama di Eropa yang mengizinkan orang-orang yang mengetahui diri mereka terinfeksi Covid-19 untuk secara bebas menggunakan layanan toko, transportasi umum, dan pergi bekerja. Johnson pada Ahad (20/2/2022) mengatakan bahwa dia tidak ingin orang-orang berhenti berhati-hati dan tidak ada alasan untuk berpuas diri.

Namun, hal itu berarti pemerintah Inggris ingin beralih dari aturan wajib oleh negara menjadi tanggung jawab pribadi. Dari populasi orang dewasa di Inggris, 81 persen di antaranya telah menerima suntikan dosis penguat (booster).

"Hari ini akan menandai momen kebanggaan, setelah salah satu periode tersulit dalam sejarah negara kita, saat kita mulai belajar hidup berdampingan dengan covid," kata Johnson dalam sebuah pernyataan kepada parlemen Inggris menjelang pengumuman itu pada Senin.

Korban jiwa akibat Covid-19 di Inggris mencapai lebih dari 160.000 orang dalam periode 28 hari, rekor tertinggi kedua di Eropa setelah Rusia. Inggris juga melaporkan rata-rata sekitar 43.000 kasus baru Covid-19 dan 144 kematian per hari dalam sepekan terakhir.

Para pejabat kesehatan telah mendesak Johnson untuk tidak bersikap "gung-ho" (sangat antusias dan bersemangat tanpa berpikir) dalam persoalan kesehatan negara. Selain itu, para penasihat pemerintah Inggris mengatakan bahwa pencabutan pembatasan dapat menyebabkan pertumbuhan epidemi yang cepat karena orang-orang mengubah perilaku mereka lebih cepat dari sebelumnya selama pandemi.

Sejauh ini pemerintah Inggris telah berusaha untuk menjaga ekonomi tetap terbuka dengan menggabungkan langkah pengujian cepat massal dan persyaratan wajib isolasi diri selama lima hari, sebuah pendekatan yang memungkinkan negara itu mengendalikan varian Omicron yang sangat menular. Pemerintah Inggris mengatakan akan mempertahankan beberapa sistem pengawasan dan rencana untuk tindakan darurat jika varian baru virus corona muncul.

Kemarin, Johnson ditanya apakah dia mengambil risiko dengan (pencabutan aturan pembatasan) pandemi. Dia mengatakan pemerintah tidak dapat mempertahankan pengeluaran hingga mencapai 2 miliar paun (sekitar Rp 38,68 triliun) per bulan untuk tes Covid-19. Johnson juga mendapat tekanan dari banyak anggota Partai Konservatif-nya untuk mencabut aturan pembatasan Covid-19 yang mereka anggap kejam, dilansir dari Reuters.

photo
Obat Covid-19 yang Ternyata tak Bermanfaat dan berbahaya bagi kesehatan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement