Sabtu 19 Feb 2022 11:06 WIB

Permintaan Maaf Belanda Atas Kekejaman Ekstrim Selama Perang Kemerdekaan Belum Cukup

Harus ada kompnesasi dan pelurusan sejarah Indonesia

Warga mengamati relief tragedi Rawagede di Monumen Perjuangan Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/12/2021). Monumen tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah untuk mengenang perjuangan masyarakat setempat melawan Belanda saat terjadi tragedi Rawagede.
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Warga mengamati relief tragedi Rawagede di Monumen Perjuangan Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/12/2021). Monumen tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah untuk mengenang perjuangan masyarakat setempat melawan Belanda saat terjadi tragedi Rawagede.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senator Asal Jateng Abdul Kholik menilai temuan atas kekejaman tentara Belanda selama perang kemerdekaan melegakan. Pasalnya kebenaran sejarah akhirnya telah terungkap tentang kekejaman tentara Belanda ketika itu. Namun memang tidak sebatas hanya permintaan maaf, Pemerintah Belanda harus ada langkah selanjutnya untuk meluruskan sejarah dan memberikan ganti rugi.  

Seperti diketahui Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dua hari lalu (17/2) meminta maaf kepada Indonesia setelah tim Peneliti sejarah menyemapaikan temuan sejarah penggunaan “kekerasan ektrem” secara struktural. "Tentara Belanda kini  terbukti dan sering melakukan berbagai bentuk eksekusi di luar hukum, penahananan, penyiksaan yang tidak manusiawi, pembakaran desa, perusakan penghancuran property, dan pencurian. Mereka lakukan  dalam merebut kembali Indonesia yang sudah merdeka periode 1945-1949,'' kata Abdul Kholik, di Jakart, (19/02/2022).

Menurutnya, temuan tindakan kekejaman yang ekstrim sekaligusmegkonfirmasi cerita cerita yang diturunkan para orang tua ketika ikut melawan  Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

"Sering kami diceritakan banyak kejadian di daerah kami, yang menggambarkan kekejaman Belanda. Seperti peristiwa warga yang ditembak dan dibunuh tentara Belanda di tengah jalan ketika berpapasan dengan tentara Belanda hanya karena dicurigai sebagai tentara republik. Cerita serupa banyak di dengar di daerah daerah lain juga,'' ujar Abdul Kholik.

Kholik menegaskan, hasil penelitian tersebut sangat penting, meski menyayangkan fakta-fakta sejarah baru terungkap hari ini.  "Selain itu kami  karena permitaan maaf itu baru disampaian setelah 72 tahun. Apalagi sebelumnya pada tahun 1969 mereka tidak mengakui ada kekerasan dan kekejaman dan masih mengklaim tidak ada kekejaman. "Karena itu permintaan maaf itu belum cukup, namun harus disertai dengan langkah berikutnya pelurusan yaitu pemberian kompensasi."

Pada sisi lain, pelurusan sejarah diperlukan untuk pemahaman pada  generasi penerus sekaligus agar tidak terulang kembali sejarah pahit tersebut. Kompensasi diberikan sebagai pengganti atas penderitaan dan kerugian masyrakat.

"Hasil temuan fakta sejarah yang pahit sebagai bahan awal untuk penyikapan lebih lanjut. Setidaknya akan memulai dari wikayah Jawa Tengah yang dulu menjadi salah satu pusat perlawanan tentara Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan,'' tandas Kholik.   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement