Jumat 18 Feb 2022 09:35 WIB

Gandeng IPB, DPD RI Gelar Uji Sahih Revisi Terbatas UU No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

Rokhmin: Penanganan keamanan dan penegakan hukum di wilayah laut RI tidak efektif .

DPD RI bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB menyelenggarakan Seminar Uji Sahih Revisi Terbatas UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Kamis (17/2).
Foto: Dok RD Institute
DPD RI bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB menyelenggarakan Seminar Uji Sahih Revisi Terbatas UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Kamis (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR  -- DPD RI bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB menyelenggarakan Seminar Uji Sahih Revisi Terbatas UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan bertempat di Gedung EDCT PKSPL, Kampus IPB Barangasiang, Bogor, Kamis (17/2).

Dalam kegiatan yang digelar secara hybrid tersebut, Wakil Ketua I DPD RI Nono Sampono menyatakan,  kegiatan ini adalah bagian dari tanggung jawab DPD RI terkait pelaksanaan fungsi legislasi serta wewenang dan tugas DPD RI perihal pengajuan RUU.

Ia mengemukakan, DPD RI melihat sistem keamanan kelautan Indonesia belum maksimal dilakukan. Dibentuknya keamanan laut sebagai extraordinary ternyata ada hak yang belum diberikan kepadanya. Keamanan laut ada berbagai komponen yang terlibat ada undang-undang sekitar 17 yang berangkat dari sektor masing-masing.

“Dalam Undang-Undang Nomor 32 ini kami ingin mengatur kembali, menata kembali agar berada dalam satu koordinasi yang baik,”  kata Nono Sampono seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Ia menambahkan, sistem keamanan laut dipayungi  undang-undang. Khusus Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 ini, menurut Kementerian Hukum dan HAM,  sebagai payung hukum dari hukum hukum yang ada dan revisinya sangat terbatas.

Sementara itu, Anggota DPD RI Badikenita BR Sitepu mengatakan, FGD tersebut  merupakan satu langkah dalam penyusunan undang-undang. Sebab, ini revisi terhadap Undang-Undang Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 untuk melakukan revisi sangat terbatas, agar kewenangan bakamla dapat diperkuat.

“Dan kalau tidak lebih dari 10 persen pasal nya kita masukkan dalam revisi sangat terbatas. Ada situasi yang berkembang di dunia internasional dengan koordinasi di nasional memerlukan revisi untuk menyempurnakan hasil undang undang keamanan laut,”  ujarnya.

Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan sudah seharusnya negara hadir di Perairan Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Kehadiran itu bisa diwakili aparat pemerintah maupun nelayan sebagai simbol negara.

“Dengan revisi terbatas ini diharapkan membuat sistem lebih simpel, sehingga diperlukan sistem pelaporan terpusat dalam proses menanganan permasalahan di laut,” kata Aan Kurnia.

Tidak efektif

Pakar kelautan dan perikanan  yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof  Dr Ir  Rokhmin Dahuri  MS mengatakan,  sebagai negara kepulauan terbesar di dunia -- yang 75 persen  wilayahnya berupa laut dengan posisi geografis strategis dan kekayaan SDA lautnya yang melimpah --  Indonesia menyimpan berbagai potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) keamanan di wilayah laut, baik berasal dari dalam maupun luar negeri.

“Upaya mengatasi ATHG  keamanan kelautan di Indonesia telah dilakukan melalui pembentukan berbagai regulasi dan institusi yang menangani keamanan kelautan,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Menurut dia,  penanganan keamanan dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia hingga kini tidak efektif . “Hal itu karena banyaknya regulasi terkait dan institusi sektoral yang memiliki kepentingan masing-masing di mana setidaknya, terdapat 17 UU yang mengatur mengenai keamanan kelautan, dengan melahirkan 13 lembaga penegak hukum di laut,” papar Prof  Rokhmin.

Prof Rokhmin menyayangkan lemahnya pemerintah dalam mengatur organisasi yang bertanggung jawab dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar. “Terlalu banyak instansi yang terlibat, mengakibatkan fokus pengelolaan tidak terkontrol, sehingga instansi akan berjalan sesuai kepentingan masing-masing,” ujar Prof Rokhmin memberikan alasan.

Di samping itu, dia menambahkan, karena keterbatasan sumber daya. Anggaran yang masih menyebar di kementerian dan  lembaga menyebabkan pembangunan tidak fokus. Pemerintah daerah pada dasarnya dapat berperan bersama dalam mengembangkan pulau kecil terluar sehingga pulau kecil terluar dapat dijadikan objek wisata laut dengan berbagai macam potensi yang dimiliki.

“Land management untuk pulau-pulau kecil terluar belum jelas. Pengaturan dalam kepenguasaan dan pemilikan tanah, luas tanah secara keseluruhan, bahkan kerancuan antar lembaga pemerintah membuat land management menjadi terhambat dan tidak jelas,” tutup Prof Rokhmin Dahuri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement