Senin 14 Feb 2022 06:20 WIB

Seleksi Calon Penyelenggara Pemilu Diharapkan tak Diskriminasi Perempuan

DPR diminta membuktikan komitmen menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fuji Pratiwi
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Titi Anggraeni. Titi berharap Komisi II DPR mampu mewujudkan keterwakilan perempuan 30 persen pada lembaga penyelenggara pemilu.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Titi Anggraeni. Titi berharap Komisi II DPR mampu mewujudkan keterwakilan perempuan 30 persen pada lembaga penyelenggara pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  DPR akan menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Senin (14/2/2022).

Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Titi Anggraeni, berharap Komisi II DPR mampu mewujudkan keterwakilan perempuan 30 persen pada lembaga penyelenggara pemilu, sebagaimana diamanatkan konstitusi. 

Baca Juga

"Saya berharap dari sisi dinamika yang berjalan, DPR diminta untuk membuktikan dirinya betul-betul menjadi institusi negara yang merealisasikan komitmen berkonstitusi dan komitmen menghapus diskriminasi terhadap perempuan," kata Titi dalam diskusi daring, Ahad (13/2/2022).

Menurutnya DPR telah memenuhi amanat konstitusi apabila menghadirkan pemenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Sebaliknya, apabila komposisi keterwakilan perempuan tersebut tak dapat dipenuhi DPR, maka DPR akan dianggap sebagai penghambat terwujudnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.

 

"Kalau DPR kembali hanya menghadirkan angka minimalis yang seolah-olah sekadar ada, yaitu misalnya satu di antara tujuh di KPU, dan satu perempuan di antara lima di Bawaslu, maka tidak berlebihan kalau kemudian aktor negara sendiri, yaitu DPR yang justru menjadi penghambat upaya kita menghadirkan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu," jelasnya.

Titi menilai tidak heran jika kemudian dihadapkan dengan situasi kesulitan untuk menghadirkan keterwakilan perempuan yang lebih baik di berbagai institusi politik dan publik. Sebab ketika DPR diberikan kesempatan dengan otoritas penuh untuk mampu memenuhi keterwakilan perempuan, hal tersebut tidak direalisasikan oleh DPR.

"Itu kan menjadi pesan politik yang kurang baik pada politik kita. karena pemilihan anggota KPU-Bawaslu kan tidak menggunakan mekanisme pasar seperti caleg DPR, DPRD. Tapi kan di DPR mereka orang-orang terdidik, mestinya keberpihakan dan pemahaman konstitusinya baik," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement