REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina the Habibie Center, A Makmur Makka, menyebut Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie tidak main-main dalam meletakkan pondasi kebijakan riset di Indonesia. Makka mengingat kembali ke akhir tahun 1970-an, ketika Habibie baru dilantik menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek).
"Gagasan Pak Habibie itu mulai dari awal, meletakkan pondasi kebijaksanaan riset di Indonesia itu tidak main-main," ungkap Makka dalam peluncuran buku bertajuk "SAYA, Baharuddin Yusuf Habibie" yang dia tulis, Sabtu (29/1).
Makka menceritakan, ketika baru dilantik sebagai Menristek, sekitar tahun 1978-1979, Habibie langsung membuat panitia perumus dan evaluasi program utama nasional bidang ristek. Dia menilai, orang-orang yang dilibatkan oleh Habibie di dalamnya tidak main-main, yakni para profesor-profesor yang ahli di bidangnya masing-masing.
"Yang terlibat berbicara, menggarap matriks nasional ristek pertama itu adalah mereka-mereka itu. Termasuk litbang-litbang perindustrian, litbang hankam. Jadi tidak main-main pondasi yang sudah dibuat dalam riset itu," jelas Makka.
Dia mengatakan, teknologi bisa berubah, namun kebijakan yang dibentuk hingga saat ini sangat-sangat berkelindan. Menurut Makka, dirinya tengah dalam proses membuat buku yang berisikan tentang jejak-jejak pemikiran Habibie tentang ilmuwan. Dia mengambil satu kalimat menarik yang diucapkan oleh Habibie.
"Pak Habibie selalu mengatakan enteng sekali. 'Apabila Anda mau diakui ilmuwan, itu tidak bisa kalau Anda hanya memiliki titel. Itu belum apa-apa. Anda akan diakui sebagai ilmuwan setelah Anda melihat atau menyelesaikan sebuah problem bangsa'," kata Makka.
Mantan pemimpin redaksi Republika itu juga melihat pemikiran Habibie bersifat universal. Dengan sifatnya itu, pemikiran-pemikiran Habibie akan selalu ada. Salah satu pemikiran Habibie yang juga dia ingat adalah melakukan pendekatan proses nilai tambah.
"Beliau mengehendaki setiap insan sumber daya manusia itu harus diberi optimalisasi untuk melakukan sesuatu, untuk pintar, untuk menyelesaikan masalah, terutama problem bangsa yang terjadi saat ini," kata dia.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) periode 2014-2019, Unggul Priyanto, mengaku sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Habibie tentang ilmuwan. Karena itu dia berharap ke depan pemerintah Republik Indonesia dapat semakin sadar akan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan inovasi.
"Saya kira itu benar ya. Jadi mudah-mudahan ke depan negara kita semakin baik dan pemerintah kita juga makin sadar pentingnya peranan ilmu pengetahuan dan inovasi," jelas Unggul yang hadir dalam kesempatan itu sebagai pembicara.
Unggul membahas tentang buah pemikiran Habibie yang cukup populer, yakni bermula dari akhir dan berakhir dari awal. Menurut Unggul, konsep tersebut pada zamannya banyak menimbulkan perdebatan dan banyak yang tidak memahaminya dengan baik.
Padahal, menurut Unggul, inti dari pemikiran Habibie tersebut adalah ingin menjelaskan, untuk negara berkembang yang sudah termasuk terlambat dalam membangun suatu industri tidak perlu harus memulainya dari awal. Negara itu bisa memulainya dari tengah atau di ujungnya dengan menguasai teknologinya terlebih dahulu.
"Tapi bisa dipotong di tengah atau di ujung. Nanti kalau sudah menguasai teknologi itu, baru pelan-pelan melakukan riset dasar maupun terapan untuk meningkatkan kemampuan teknologi yang dikembangkan," tutur Unggul.
Dia melihat langkah tersebut dilakukan oleh negara-negara lain, yang salah satunya adalah China. Unggul memberikan contoh, China yang kini sudah turut menjadi pemain utama di bidang kereta cepat memulai semuanya dari membeli lisensi dari Jepang dan Jerman. Dari sana, China mengembangannya sendiri.
"Jadi ini bukan hanya apa yang disampaikan Pak Habibie di Indonesia, tapi di dunia banyak yang dilakukan seperti itu," jelas Unggul.