REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura merugikan Indonesia. Hikmahanto mengungkap, jika dibandingkan keuntungan yang didapat Indonesia, kerugiannya justru lebih banyak.
Ini karena di dalamnya memuat kesepakatan Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Ia mengatakan, perjanjian serupa juga pernah digagas pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2007 lalu, tetapi mendapat penolakan dari DPR dan masyarakat.
"Ada sih untungnya misalnya tempat-tempat latihan kita akan direhab dan sebagainya, cuma masalahnya kan (perjanjian) yang sekarang kita belum tahu nih, apakah masih sama atau enggak dengan yang 2007, kalau yang 2007 itu sangat merugikan Indonesia," ujar Hikmahanto kepada Republika, Jumat (28/1).
Hikmahanto menjelaskan, mengacu DCA 2007, beberapa hal yang dipersoalkan yakni ketentuan wilayah alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang strategis jika Singapura dibolehkan melakukan latihan perang di Kepulauan Natuna. Menurutnya, selama ini wilayah ALKI merupakan wilayah kapal komersial lalu lalang.
Ia mengatakan, jika pemberian izin latihan militer Singapura berdampak pada penutupan atau terganggunya wilayah ALKI sangat merugikan Indonesia.
"Kalau seperti itu ya jangan, itu merugikan kita, padahal kita nggak boleh menutup-nutup begitu, lalu prajurit Singapura misalnya melakukan kejahatan di Indonesia waktu latihan nanti diadilinya di Singapura padahal kejahatannya di Indonesia, harusnya hukum di Indonesia, jadi banyak kerugiannya," kata Hikmahanto.
Karena itu, beberapa hal tersebut mendasari penolakan perjanjian kerja sama pertahanan pada 2007 lalu. Hikmahanto itu berharap, DPR bisa mencermati perjanjian yang digagas Pemerintah Indonesia dengan Singapura. Ia mengingatan pentingnya kedaulatan wilayah bagi negara.
"Meskipun katanya di DPR, peta kontelasinya kuat, ini bukan masalah DPR jumlahnya atau apa, tapi kita sama negara lain tuh harus memperhatikan masalah kedaulatan, kita berharap mudah-mudahan DPR bisa mencermati masalah ini," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dan Singapura bersepakat untuk bekerja sama di bidang politik, hukum dan keamanan serta kerjasama pertahanan. Salah satunya, Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement yang di dalamnya memuat kesepakatan di mana Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.
Perjanjian kerja sama ini pun dipertanyakan oleh mayoritas anggota Komisi I DPR RI saat rapat bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada rapat Kamis (27/1/2022) kemarin. Sebab, kerja sama yang pernah ditolak DPR pada 2007 lalu itu dinilai sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.
Namun, seusai rapat, Menhan Prabowo Subianto menjelaskan kepada wartawan bahwa kesepakatan militer dengan Singapura tidak membahayakan Indonesia.
"Sama sekali tidak (membahayakan), saya kira sudah latihan banyak negara kok dan secara tradisional mereka juga latihan di situ. Kita butuh persahabatan dengan Singapura dan kita menganggap Singapura negara sahabat kita," jawab Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Prabowo mengatakan, latihan militer dan perang Singapura di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna haruslah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia. Isi kesepakatan yang sama dengan DCA 2007 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Intinya sama, karena memang kita istilahnya ingin mengaktualisasi," ujar Prabowo.