REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabupaten Pandeglang jadi wilayah paling parah terdampak gempa Banten, yang sudah terjadi berulang kali. Menteri Sosial Tri Rismaharini meminta Bupati Pandeglang membahas opsi kebijakan merelokasi hunian warga dari zona merah terdampak gempa.
Risma menjelaskan, sebagian wilayah Pandeglang sudah dinyatakan masuk daerah rawan gempa atau zona merah oleh Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Bahaya yang mengancam daerah itu adalah gempa megathrust (tumbukan lempeng) dan gempa vulkanik karena banyak gunung api di sekitarnya. Gempa yang terjadi juga berpotensi diikuti tsunami.
Adapun Bupati Pandeglang, kata Risma, mengakui bahwa dampak gempa paling parah terjadi di daerah zona merah. Karena itu, Risma meminta bupati mengkaji opsi relokasi.
"Karena itu saya sampaikan (ke bupati), harus dibahas secara khusus nanti bagaimana warga ini. Kalau sudah ngomong zona merah, ya kalau tetap di situ ya tetap begitu (tetap terdampak gempa)," kata Risma kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Risma mencontohkan kebijakan relokasi untuk warga terdampak erupsi Gunung Semeru. Rumah warga yang berada di zona merah dan terdampak aliran lahar, akhirnya dipindah ke zona aman.
"Tapi, ini (Pandeglang) tidak serta merta begitu (seperti Semeru). Karena itu, kepala daerah harus intens melakukan kajian. Nanti kebijakannya seperti apa, kita (eksekusi) sama-sama," ungkap Risma.
Tahun ini, gempa pertama kali mengguncang Banten pada Jumat (14/1/2022) dengan kekuatan 6,6 magnitudo. Lalu, belasan kali gempa susulan terus mengguncang provinsi tersebut hingga Ahad (16/1/2022) dini hari. Setelah sempat mereda, gempa kembali mengguncang Banten pada Senin (17/1/2022) pagi dengan kekuatan 5,4 magnitudo.
Menurut laporan BNPB, gempa pertama pada Jumat mengakibatkan total 3.078 rumah rusak di lima kabupaten di Banten dan Jawa Barat. Kabupaten yang paling parah terdampak adalah Pandeglang karena jumlah rumah yang rusak mencapai 2.724 unit.
Sayangnya, gempa besar masih berpotensi mengguncang Banten, meski tak ada yang tahu kapan persisnya. Hal ini disampaikan Kepala Badan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono.
"Gempa Ujung Kulon kemarin (Jumat) sebenarnya bukan ancaman sesungguhnya karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7. Ini dapat terjadi sewaktu-waktu. Inilah ancaman yang sesungguhnya," ungkap Daryono dalam keterangannya, Ahad (16/1/2022).
Daryono menjelaskan, segmen megathrust Selat Sunda itu merupakan salah satu zona seismic gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar. Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa gempa di Selat Sunda kerap diikuti tsunami.
Tsunami Selat Sunda pada tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa. Tsunami tahun 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Daryono berharap agar semua pihak serius menyiapkan upaya mitigasi dalam mengatasi persoalan ini. "Gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan, bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa. Namun dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu, kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret," ujarnya.