REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) RI Miko Ginting menanggapi Ketua Umum DPN Peradi, Prof Otto Hasibuan, soal usulan pengangkatan Calon Hakim Agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. Miko menjelaskan kewenangan Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan Calon Hakim Agung lahir dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, basis kewenangan ini adalah mandat yang secara tekstual diberikan oleh Konstitusi untuk dijalankan oleh Komisi Yudisial.
"Dengan demikian, jika patokannya adalah teks dan semangat konstitusi, maka pendapat yang menyatakan sebaiknya 'kewenangan ini dikembalikan kepada Mahkamah Agung' menjadi keliru," kata Miko dalam keterangan pers, Senin (17/11/2022).
Miko menilai usulan Otto dari segi sejarah pun cenderung tak tepat. "Begitu juga dari sisi sejarah, terutama sejak Reformasi, Mahkamah Agung tidak pernah memiliki kewenangan dalam pengangkatan hakim agung, sehingga pendapat yang menyatakan 'dikembalikan kepada Mahkamah Agung' juga menjadi sangat tidak tepat," lanjut Miko.
Miko menerangkan MK bahkan memperkuat dasar konstitusionalitas kewenangan Komisi Yudisial dalam pengusulan pengangkatan calon hakim adhoc pada MA melalui Putusan Nomor 92/PUU-XVIII/2020. Namun KY menyatakan selalu terbuka untuk melakukan evaluasi dan penyempurnaan agar seleksi dilakukan secara transparan dan akuntabel.
"Begitu juga dengan aspek komunikasi dengan DPR RI yang terus diperkuat agar peluang persetujuan calon yang diserahkan Komisi Yudisial semakin besar. Sebagaimana diketahui, seluruh hakim agung di Mahkamah Agung saat ini merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial," ujar Miko.
Di sisi lain, Otto menyampaikan ada 'kelesuan' dari para hakim, khususnya para hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Hakim tidak lagi tergerak membuat putusan yang baik karena tidak berarti dengan demikian ia akan mendapat jenjang karir yang lebih bagus. Hal ini karena motivasi hakim untuk menjadi hakim agung luntur karena sistem rekrutmen hakim dipegang oleh Komisi Yudisial dan DPR RI.
Miko membantah asumsi Otto bahwa hakim mengalami 'kelesuan' itu. Miko mengklaim jika dilihat dari jumlah pendaftar calon hakim agung di KY, data empirik justru menunjukkan dua seleksi terakhir yang diselenggarakan oleh KY berhasil menggaet pendaftar dengan jumlah yang secara kuantitas besar. Pada seleksi yang lalu bahkan jumlah pendaftar calon hakim agung ke KY mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah.
"Mengenai hubungan antara kualitas putusan dengan 'kelesuan' para hakim karena sistem rekrutmen calon hakim agung, Komisi Yudisial belum bisa memberikan tanggapan karena kesulitan melihat adanya hubungan sebab-akibat yang kuat di antara kedua hal tersebut," ucap Miko.
Sebelumnya, Seleksi calon hakim agung (CHA) dan calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung (MA) memasuki tahapan seleksi kualitas pada Selasa-Rabu, 11-12 Januari 2022 di Balitbang Diklat Kumdil MA, Mega Mendung, Bogor.
Sekretaris Jenderal KY Arie Sudihar menyampaikan sejak dari pengumuman kelulusan administrasi hingga registrasi pada Senin (10/1/2022) diperoleh informasi terdapat dua calon dari kamar pidana tidak melakukan registrasi ulang. Alasannya yaitu satu orang mengundurkan diri karena sakit, dan satu lainnya dikarenakan lulus administrasi untuk dua lowongan, yaitu kamar pidana dan ad hoc, kemudian calon memilih ad hoc tipikor.
"Selanjutnya dari 46 orang yang lulus tahap administrasi calon hakim ad hoc Tipikor di MA, terdapat satu orang yang mengundurkan diri dengan alasan sakit," kata Arie.