Senin 17 Jan 2022 04:45 WIB

Presidential Treshold, Cara Alternatif Stabilkan Pemerintah

Adanya presiden treshold tak menjamin pemerinatahan stabil

Masyarakat sipil pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6). Masyarakat sipil yang terdiri dari ahli hukum, akademisi, mantan pimpinan KPK, mantan pimpinan KPU dan pegiat pemilu tersebut meminta MK segera memproses dan memutus permohonan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden.
Foto:

Berbeda dengan gagasan yang tersaji pada debat PPKI tanggal 10 ampai dengan 16 Juli 1945, hanya Bung Hatta yang nyata-nyata mencurigai kakuasaan disatu sisi, dan atas dasar itu Bung Hatta hendak mengekang kekuasaan itu. Caranya adalah mengatur hak asasi manusia, sebuah gagasan yang mendapat tantangan begitu keras dari Soepomo, para pembentuk UUD Amerika, melalui Constitutional Convention Di Philadelhia, justru sebaliknya. 

Mereka ingin menciptakan pemerintahan nasional yang, dalam istilah James Madison “energizer” kuat dan efektif, tetapi praktik kekuasaan raja-raja Inggris, begitu menghantui mereka. Madison sendiri memiliki tesis yang menarik. Katanya “if men were angle, no government wold be necessary. If angle were to govern men, neither external or internal control government wold be necessary.

Cukup jelas ketakutan mereka tentang manusia yang memerintah. Presiden, siapapun yang menyandangnya, memiliki ambisi. Sejarah cukup berbicara tentang ambisi manusia yang memegang kekuasaan. Inggris dan Romawi memiliki catatan hitam dalam urusan ini. 

Soal ini digambarkan dengan tepat oleh Madison. Dalam Federalis Paper Nomor 51, Madison menulis “ambition must be made counteract ambition. The interest of the man, tulis Madison lebih jauh,  must be connected the constitutional rights of the place. Itu sebabnya pemerintah harus dikontrol, dan rakyat, dalam pandangannya adalah fountain, source and primary goverment control. 

Penilaian kongklusif ini menuntun dirinya, menegaskan setiap departemen tidak bisa diberi kekuasaan secara setara. Menarik, walau menghendaki pemerintahan nasional yang kuat, efektif begitu diksi dominan dalam konvensi itu, Madison menyodorkan satu elan republik. Pemerintahan republik, dalam kata-katanya “legislative authority necessary predominates.”

Konvensi akhirnya menyepakati konstitusi. Praktis presidensial tercipta berdasarkan asumsi pemerintahan  yang kuat, stabil dan efektif. Pemerintahan presidensialpun  mulai dipratikan untuk pertama kalinya, tidak hanya di Amerika,  tetapi dunia pada tanggal 14 April 1789. 

Segera setelah itu, dalam kenyataannya, dan kenyataan beralasan dijadikan justifikasi empiris untuk, kalau tidak menerima sepenuhnya, mempertimbangkan  relefansi presidential threshold. George Washington, presiden pertama yang tidak dibekali sejarah praktik pemerintahan presidensial, segera diintrupsi oleh perbedaan pandangan antar para menteri atas kebijakannya tentang pembiayaan pemerintahan. 

Siapa yang mengotorisasi penarikan pajak dan bea serta siapa, kementerian keuangankah atau Bankkah yang menampung uang-uang itu? Itu pemicunya. Hamilton, menteri keuangan kala itu, memilih menempatkanya di Bank. Untuk tujuan itu, Hamilton hendak mendirikan sebuah bank nasional, yang sifatnya sebagai bank sentral. 

Gagasan ini didukung John Adam, Wakil Presiden secara terbuka. Sial, gagasan itu ditentang  secara terbuka oleh Thomas Jefferson, Menteri Luar Negeri, yang memegang portofolio sebagai Sekertaris Negara. Jefferson mendapat dukungan langsung dari koleganya sesama ahli hukum, James Madison, yang kala itu menjadi anggota Kongres. 

Alexander Hamilton dan John Adam berstau menjadi satu faksi, berhadapan dengan Thomas Jefferson dan James Madison pada faksi lain secara diametral. Bukan presiden, melainkan Kongres yang membentuk UU. Skema ini dimengerti oleh Hamilton, dan atas dasar itu Hamilton segera menjalin koneksi dengan kolega-koleganya sesama Federalis di Kongres. Orang-orang yang terkoneksi dengan Hamilton menyebut kelompok “Republican.”  

Tujuannya sederhana, kongres meloloskan undang-undang bank nasional Bagaimana sikap Washington? Washington membiarkan saja anak buahnya bertikai. Akhir yang hebat memang menanti, Hamilton yang memiliki kedekatan istimewa dengan Washington, keluar sebagai pemenang dalam pertikaian yang, kelak menjadi dasar dua partai dalam politik Amerika. 

Hamilton (Federalis) jelas muncul menjadi pemenang dalam kisruh yang telah dibayangkan sealama debat di konvensi. Tetapi politik telah menentukan takdirnya. Kongres telah terbelah hebat ke dalam dua faksi,  faksi Federalis vs faksi kaukus Republik-Demokrat. Federalis kelak menjelma menjadi partai republik, dan faksi kaukus Republik-Demokrat kelak menjelma menjadi Partai Demokrat. 

Kenyataan pembelahan itu mengkawatirkan George Washington. Menurut William Coroty, Washington  menegaskan efek buruk semangat partai akan memecah belah dan menghancurkan negara baru ini. John Adam, Wakil Presidennya, disisi lain, sebelum menjadi residen kedua Amerika, menyatakan republik akan terpecah menjadi dua partai besar, harus ditakuti sebagai kejahatan politik terbesar dibawah konstitusi kita.

Adam pasti bukan politisi menla-mencle, tetapi kekhawatirannya yang hebat itu, dalam kenyataannya sama sekali tidak memandu kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Republikanisasi, nama lain dari wujud ambisi Federalis memegang  supremasi dan stablisasi serta efektifitas pemerintahan nasional, menjadi tipikal pemerintahannya. 

Kebijakan republikanisasi Adam, diwujudkan untuk menguasai, salah satunya,  semua pengadilan. Setelah menempatkan John Marshal menjadi Ketua Mahkamah Agung beberapa hari sebelum berakhir masa jabatannya, Adam terus merealisasikan ambisis Federalisnya itu. 

Adam menominasi sejumlah, kalau tidak salah 46 jumlah hakim, termasuk  Marbury, sehari sebelum berakhir masa jabatannya. Sial, dan ini yang terjadi, Marbury tidak dilantik. Thomas Jefferson, Presiden ke-3, bersama Madsion, Sekretaris negaranya, membatalkan nominasi itu. Tindakan Madison ini menjadi sebab satu-satunya judicial review pertama dalam sejarah peradilan Amerika. 

Semangat antagonisme, dengan hasil yang satu dan lainnya menarik, terus mewarnai jalan sejarah mereka. Andrew Jackson, sang Jefersonian tulen ini, bersama Martin van Biren memperluas cakrawala antagonisme itu, dengan cara menjadikan partai Demokrat berbasis masa pada pilpres 1828. 

Terkenal sebagai Jefersonian, dan didukung mayoritas demokrat di kongres, Jackson menolak memperpanjang beroperasi nasional bank. Ini dikenal dengan Jackson veto. Hasilnya adalah krisis keuangan tahun 1837. Berakhirkah?  Pembelahan politik di Kongres, sesuatu yang khas itu, bergerak menguat pada pemerintahan Abrahan Lincoln, 1861. 

Agak eksentrik, tetapi mayoritas republik di Kongres menguntungkan Lincoln ketika menangguhkan Habes Corpus Act, saat dirinya menangani perang saudara, Utara-Selatan. Kebijakan keuangannya yang ditentang oleh Demokrat, dalam kenyataan, lolos juga. Memang harus diakui, Lincoln mengancam kongresbahwa ia  akan mengelontorkan fiat money dalam jumlah tak terbatas. 

Mengejutkan, Abrahan Lincoln ditembak mati oleh Jonh Winkel Both. Penerusanya Andrew Johnson, yang sedari awal berhaluan Demokrat, yang gagah berani memulihkan daerah Selatan, tetapi terus ditentang oleh Republik, harus bertemu dengan impeach. Dirinya diimpeach, untuk urusan sederhana, memberhentikan Edwin Standton, Menteri pertahanannya. Itulah impeachment pertama dalam sejarah Amerika.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement