Ahad 16 Jan 2022 07:20 WIB

Sejarah Kebrutalan Belanda di Bali dan Penyesalan Kolektif yang tak Pernah Ada

Sejarah kekerasan kolonail Belanda di Bali

Tentara Belanda berpatroli di pedesaan Indonesia dalam masa perang kemerdekaan.
Foto:

Kekerasan di Tangsi

Ketika berbicara dengan orang Bali, Lot Hoek mendapat gambaran menarik tentang kekerasan di tangsi. Lot Hoek memulai cerita ini dengan penjelasan tentang tangsi. Menurutnya, tangsi adalah kata yang digunakan KNIL untuk menyebut detasemen tentara.

Bagi orang Bali, tangsi adalah penjara. Arsip Belanda tidak menyebut apa pun tentang tangsi di Bali. Padahal, menurut penelitian, terdapat sekitar 50 tangsi di sekujur Bali yang membentuk struktur kekerasan tersembunyi. Di tangsi, penyiksaan dan eksekusi tahanan adalah fenomena sistematis yang tersebar luas.

Veteran Ketut Meregeg, yang menerbitkan memoarnya secara lokal, bercerita tentang tangsi Jatiluwih. “Penjaga kamp, sebutan lain untuk tangsi, mencukur sampai botak para tahanan. Kemudian tahanan menjalani kerja paksa, mengangkut batu untuk memperkeras jalan di bawah terik matahari dan hujan lebat.”

“Makanannya sangat sedikit. Terkadang, penjaga kamp memberikan sisa roti yang dimakan anjing kepada tahanan. Atau, memberikan sisa makanan babi. Saat kerja, dan menemukan tumbuhan bisa dimakan, tahanan menyempatkan diri memakan tanaman itu.”

“Penjaga kamp sangat kejam. Gampang memukul tahanan dengan bambu. Saya tidak bisa tidur di malam hari akibat luka memar terkena pukulan di sekujur tubuh. Siapa pun yang dipanggil malam hari dipastikan tidak akan kembali.”

Pada pertengahan 1947, sekitar 10 ribu penduduk Bali ditahan karena alasan politik. Lot Hoek tidak berani mengatakan berapa dari jumlah itu yang selamat. Sebab, berdasarkan kesaksian mantan prajurit KNIL bernama Don Sweebe, tentara secara teratur menyuruh tahanan buang air kecil.

“Pergi sana buang air kecil. Tahanan lari menjauh ke bawah pohon atau semak, dan tentara menembak dari belakang,” kata Sweebe.

Itu bukan eksekusi untuk tahanan yang dinyatakan bersalah, tapi mekanisme pengurangan jumlah tahanan. “Penjara penuh sesak, dan penjaga sangat sedikit.”

Seluruh buku Lot Hoek seolah tentang kekejaman tak terperi, kebrutalan KNIL di luar batas kemanusiaan. Dalam buku ini kita bisa menemukan cerita tentang tahanan yang dimasukan ke dalam tong, dan digelindingkan menuruni bukit. Atau tentang sersan Angkatan Darat Republik Indonesia yang merangkak di atas bara api, menyebabkan kulit dadanya terkelupas seperti babi panggang.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement