Senin 10 Jan 2022 05:39 WIB

Presidential Threshold Nol Persen, Konstitusionalkah?

Mengkaji tuntutan presiden threshold Nol Persen

Debat Capres pada Pemilu 2019
Foto:

Kata atau konsep “partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, menyatakan apa atau apa maksudnya atau apa maknanya? Apakah dua konsep yang diantarai dengan kata “atau” menyatakan setiap partai berhak mengusulkan capres dan cawapres secara berpasangan? Bila itu maksud nyata pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu, maka presidential threshold, terlihat tidak valid dipositifkan. 

Masalanya mau diberi makna apa atas konsep “gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) tersebut? Norma ini memang, kalau diletakan dalam perspektif John Austin, bukan perintah. Lebih tepat disifatkan sebagai pernyataan, dalam perspektif   Hart. Tetapi apapun sifatnya, konsep “gabungan partai  politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah norma. 

Kapasitas otoritatif konsep “gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, jelas konsekuensinya.  Konsekuensinya, partai-partai politik peserta pemilu, tentu setelah partai-partai itu memperoleh surat keptusan KPU sebagai peserta pemilu, berhak bergabung mengusulkan capres dan cawapres secara berpasangan. 

Semua partai dapat bergabung menjadi satu pengusul atau jumlah partai yang bergabung menjadi pengusul harus diberi batas, treshold?  Kalau semua partai politik bergabung menjadi satu dan mencalonkan satu capres dan cawapres, maka yang terjadi adalah calon tunggal. 

Soal hukumnya adalah apakah konsep-konsep dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bermakna hukum calon presiden dan calon wakil presiden hanya satu pasangan atau calon tunggal? Kalau calon tunggal, maka soalnya apa makna konsep partai politik mencalonkan sendiri presiden dan wapres?  

Dua konsep “partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, tidak bisa dilihat secara lexical. Secara  prima facie hal itu merupakan deffault of interpretation sekaligus  interpretation of fallacy. Hukum yang dikonstruksi dengan cara itu justru tidak valid, sekaligus tidak konstitusional. 

Mau tidak mau, suka atau tidak, hakim dan pemohon harus menyelam, memeriksa rincian argumentasi anggota MPR yang tergabung dalam PAH I BP MPR tahun 2001. Bahkan tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya, tidak hanya menemukan konteks teks sebagai basis konstruksi atas konsep “partai politik atau gabungan partai politik” tetapi juga menemukan kehendak terdekat dan utama, setidaknya kehendak terkonfirmasi para pembentuk pasal itu.

Inferensi ini khas teknik, bukan metodologi. Inferensi ini membawa hakim mengatahui makna dan kandungan utama yang menajdi maksud pasal 6A ayat (2) itu. Hasil ini menjadi pijakan hakim menentukan hukum presidential threshold. Praktis, konstitusional atau tidak konstitusionalnya presidential threshold hanya dapat ditentukan dan dinyatakan secara valid setelah hukum pada pasal 6A ayat (2) dinyatakan. 

 Itulah jalan berkelas, jalan ilmu hokum. Jalan itulah yang harus dilalui hakim dalam menemukan dan menetapkan hukum yang valid atau konstitusional atas isu presidential threshold ini. Memeriksa rincian argumen atau gagasan anggota MPR yang tergabung dalam PAH I BP MPR 2001 adalah imperative. 

Bahkan hakim yang memeriksa perkara ini harus, tak ada pilihan, menyelami debat anggota PAH I BP MPR pada tahun 1999 dan 2000. Mengapa? Babakan ini  telah memunculkan gagasan-gagasan kritis tentang presiden seumur hidup, dan  Pak Harto yang berkali-kali dicalonkan menjadi presiden.   

John Marshal, Chief Justice Supreme Court Amerika, menempuh jalan itu. Jalan itu mengantarkan dirinya dan supreme Court menemukan hukum yang menyatakan Supreme Court memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara judicial review yang diajukan oleh Marbury. Hebat, dirinya dan putusannya melegenda. 

Dirinya dihormati dalam kehidupan, tidak hanya ketatanegaraan, tetapi juga keadilan, hingga kini. Top, John Marshal, yang ayahnya berteman dengan Presiden John Adam, melahirkan konsep original intention, terlepas dari debat mutakhir mengenainya. 

Sejarah merindukan hakim yang mau bekerja, memeriksa rincian gagasan yang saling bersaing antar  anggota PAH I BP MPR membentuk pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Memasuki medan interpretasi dengan memeriksa rincian debat PAH I BP MPR, menjadi perisai otoritatf hakim. Inilah cara tervalid menemukan hukum yang tepat tentang maksud otoritatif dan utama pasal 6A ayat (2) UUD 1945. 

Hukum yang ditemukan itulah satu-satunya pijakan mengualifikasi presidential treshold. Presidential threshold, dalam konteks itu terlihat bukan monster. Konstitusionalitasnya cukup terpercaya, sehingga tak harus dinolkan. Justru sebaliknya terlihat cukup rasional membuat treshold baru untuk jumlah partai yang dapat bergabung.**

 

Jakarta, 8 Januari 2022

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement