REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim tak satu suara saat akan menjatuhkan vonis terhadap empat terdakwa kasus korupsi PT ASABRI pada Selasa (4/2). Hakim anggota Mulyono Dwi Purwanto menyatakan adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dari empat hakim lainnya.
Hakim Mulyono tidak yakin dengan kebenaran perhitungan kerugian negara karena ketidakkonsistenan dan ketidaktepatan perhitungan kerugian negara dalam kasus ini. Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara Rp 22,788 triliun berasal jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019 sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.
Hakim Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Ia meyakini dana Rp 22 triliun adalah saldo dari pembelian rekening efek yang melanggar peraturan yang berlaku dan yang belum dipulihkan kembali per 31 Desember 2019 namun masih memperhitungkan penerimaan dana meski pembelian tidak sesuai dengan peraturan yang belaku.
"Reksadana, surat, dan saham-saham masih ada dan menjadi milik PT ASABRI dan memiliki nilai atau harga tapi tidak diperhitungkan oleh auditor atau ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga tidak konsisten dengan penerimaan atas likuidasi saham setelah 31 Desember 2019, bahkan sampai audit pemeriksaan pada 31 Maret 2021 meski tidak diperhitungkan penjualan sesudah masa akhir pemeriksaan tersebut," kata hakim Mulyono dalam sidang tersebut.
Mulyono menilai, dengan metode penghitungan ahli itu maka saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. Menurutnya, walau pembelian menyimpang tapi masih menghasilkan dana kas bagi PT ASABRI meski jumlah tidak pasti karena harga berfluktuasi. Sehingga menurutnya lebih fair untuk diperhitungkan dalam menghitung kerugian negara.
"Auditor tidak memperhitungkan itu tapi hanya efek surat berharga yang tidak terjual kembali sebelum 31 Desember 2019 tapi memperhitungkan penerimaan setelah 31 Desember 2018, hal itu menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat, tidak nyata atau tidak pasti nilainya karena tidak dihitung secara riil pembelian yang menyimpang namun mengesahkan penerimaan dananya dari penjualan atau redempt atau likuidasi efek tersebut sampai waktu tertentu," ujar Mulyono.
Mulyono juga menerangkan metode audit yang digunakan untuk menghitung perhitungan kerugian negara adalah total loss dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT ASABRI dengan pembelian instrumen investasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi yang kembali per 31 Desember 2019.
"Dari pertimbangan di atas perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ucap Mulyono.
Diketahui, terdakwa yang dijatuhi vonis hari ini ialah Dirut ASABRI 2011-2016 Adam Rahmat Damiri, Dirut ASABRI 2016-2020 Soni Widjaya, mantan Direktur Investasi ASABRI Hari Setiyanto dan mantan Direktur Keuangan Asabri Bachtiar Effendy. Namun sidang berlangsung molor hingga berita ini dibuat vonis pun belum dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap empat terdakwa.
Sebelumnya, dalam sidang pembacaan tuntutan oleh JPU disebutkan, terdakwa Adam Rachmat Damiri dituntut 10 tahun pejara dengan denda yang harus dibayar Rp 17,9 miliar. Sedangkan terdakwa Sonny Widjadja dituntut penjara 10 tahun dengan denda yang harus dibayarkan Rp 64,5 miliar. Berikutnya, terdakwa Hari Setiyanto dituntut penjara 14 tahun dan terdakwa Bachtiar Effendi dituntut 12 tahun penjara.