Jumat 31 Dec 2021 17:27 WIB

Gus Yahya, Gus Dur, dan Terkuburnya 'HMI Connection'

Dalam sejarahnya pun NU dengan HMI tidak berada pada jalur yang berseberangan.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 Yahya Cholil Staquf memberikan sambutan saat penutupan Muktamar NU ke-34 di UIN Raden Intan, Lampung, Jumat (24/12/2021). Pada Muktamar NU ke-34 itu terpilih Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU dan Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam PBNU.
Foto:

Gus Yahya adalah santri dan kyai yang lahir dari tradisi intelektual. Melalui inkubator Pesantren Krapyak dan HMI sebagai stimulator keintelektualan Gus Yahya. Meskipun tentu pascaera tersebut Gus Yahya lebih terasah dalam banyak wadah lainnya terutama saat berada dalam circle Gus Dur. Apalagi Gus Yahya pernah ikut terlibat aktif dalam banyak aktivitas Gus Dur baik saat menjabat sebagai Presiden maupun sebelum dan sesudahnya.

Pergumulannya dengan Gus Dur menjadikan Gus Yahya lebih tarasah dalam intelektual terutama dalam gagasan yang sering Gus Dur jadikan platformnya soal moderasi beragama (Islam). Bahkan Gus Ipul, sapaan akrab Gus Syaifullah Yusuf, menyebutnya sebagai Gus Dur muda. Ini hanya perumpamaan, karena tentunya pemikiran dan aktivitas Gus Yahya secara personifikasi masih belum bisa menyamai Gus Dur.

photo
Pengunjung melihat lukisan Gus Dur saat pameran Sejarah Islam di Nusantara yang digelar di Kantor PBNU, Jakarta, Senin (30/1). - (Republika/Yasin Habibi)

Tapi setidaknya Gus Yahya adalah wajah baru Ketum PBNU yang mewarisi gagasan Gus Dur dalam menggaungkan wajah Islam yang toleran, terbuka dan mau berdialog dengan siapa pun seperti pemikiran Gus Dur yang dinaskahkan Islamku, Islam Anda, Islam kita. Gus Dur di sini ingin agar menampilkan Islam yang hadir bersama dan berempati untuk kepentingan bersama.

Maka dalam konteks ini, tentu yang kita harapkan adalah kebersamaan dalam keragaman. NU, Muhammadiyah, HMI, PMII dan sebagainya adalah sejatinya sama dalam tujuan kebaikan dan kemaslahatan bangsa dan umat. Jika ada alumni HMI yang dipercaya untuk menjadi Ketum PBNU itu sebagai bentuk kebersamaan dalam visi kebangsaan dan keumatan. Bukan karena adanya dikotomi HMI dan PMII di tubuh NU.

Jadi kalau yang terpilih ketua umum itu dari latar belakang organisasi HMI, bukan berarti alumni PMII tidak bisa bekerja dengan baik di NU dan juga sebaliknya. Sebab dalam sejarahnya pun NU dengan HMI tidak berada pada jalur yang berseberangan.

Justru NU selalu menjadi kakak yang peduli bagi HMI. Terutama saat rencana Presiden Soekarno karena desakan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) ingin membubarkan HMI tahun 1965. Di situ NU yang terdepan membela HMI agar tidak jadi dibubarkan.

Ketika suasana memanas dan CGMI dan PKI terus mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan HMI, Sang Pemimpin Besar mengundang Subandrio dan KH Saifuddin Zuhri ke Istana. Sesuai dengan pesan Sulastomo Ketua Umum PB HMI saat itu, Subandrio tidak setuju jika HMI dibubarkan. KH Saifuddin Zuhri, atas nama NU, malah mengancam Bung Karno.

“Kalau Bung Karno membubarkan HMI karena desakan CGMI dan PKI, saya serahkan mandat sebagai menteri (agama). Saya tidak bertanggungjawab jika massa NU melawan negara.”

Begitulah sejarah cerita manis antara NU dan HMI. Agaknya cerita menjadi getir kemudian karena sedikit ternodai saat peristiwa lengsernya Gus Dur dari kursi Presiden tahun 2001.

Sebagian warga NU menganggap ini ulah HMI connection karena para pimpinan lembaga negara dan beberapa petinggi partai adalah alumni HMI saat itu. Bagi saya itu pengkaitan berlebihan yang dituduhkan ke HMI atau KAHMI. Apakah karena potret tersebut lantas bisa menjustifikasi HMI connection yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur.

Sementara di pihak Gus Dur sendiri saat itu ada Gus Yahya alumni HMI Yogyakarta sebagai juru bicaranya di kepresidenan, ada juga Mahfud MD pengikut Gus Dur yang menjadi Menteri Pertahanan saat itu juga jebolan HMI Yogyakarta. Bahkan kemudian menjadi Ketua Umum MN KAHMI di tahun 2012-2017.

Di luar nama-nama tersebut banyak lagi alumni HMI yang punya kedekatan khusus dengan mantan Presiden RI ke 4 tersebut. Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo adalah alumni HMI yang sudah berkawan dengan Gus Dur sejak lama, termasuk Deliar Noer Ketum PB HMI periode 1953-1955 yang sering berkunjung kerumah KH A Wahid Hasyim (Ayah Gus Dur) dan kerap menyapa Gus Dur kecil saat itu.

Jadi tesis yang mengatakan HMI connection motor pelengseran Gus Dur menurut saya tidak tepat, di alumni dan KAHMI sendiri terdapat fragmentasi dan polarisasi kepentingan yang sering beradu dan tidak menyatu. Dan perlu diketahui, PB HMI MPO (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah Ketua Umum periode 2001-2003 Syafinuddin Al Mandari yang pertama kali silaturahmi kemudian mengundang Gus Dur ke forum resmi publik setelah Gus Dur turun dari kursi Presiden.

Saat itu pesannya adalah bahwa HMI mendukung secara moril kepada Gus Dur. Dan sebagai penanda bahwa HMI tidak ada persoalan apapun dengan Gus Dur.

Terpilihnya Gus Yahya di Muktamar ke-34 NU di Lampung sebagai penanda Warga NU sudah mulai sadar bahwa HMI connection yang dialamatkan sebagai biang kerok lengsernya Gus Dur adalah penggiringan opini belaka. NU dan HMI dari dulu hingga kini tetaplah kakak beradik yang selalu bersama dalam satu tujuan membangun bangsa dan ummat agar tercapai kemaslahatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement