REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sudah hampir lima tahun Lidwina Wurie mendirikan Difabel Zone Yogyakarta. Komunitas ini menjadi tempat penyandang disabilitas dari berbagai wilayah di Yogyakarta berkreasi bahkan mewujudkan kemandirian ekonomi.
Di tempat ini, banyak di antara mereka yang mengalami cerebral palsyatau kelumpuhan pada otak. Motorik mereka terganggu sehingga mobilitasnya pun terbatas.
Lidwina dan kawan-kawan melakukan pendampingan agar mereka bisa meraih rezeki dari membatik. "Kami ingin menginspirasi banyak pihak untuk mau menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka," kata Lidwina Wurie kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Tak berhenti pada membatik, beberapa di antara anggota komunitas itu bahkan mampu mengembangkan potensinya membuat desain batik dan menjahit. Komunitas ini beranggotakan 35 orang. Rata-rata mereka berusia produktif antara 21-32 tahun.
Terlepas dari semangat dan kemampuan para penyandang disabilitas itu, diakui masih banyak persoalan yang dihadapi mereka dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Persoalan ketimpangan bagi penyandang disabilitas diakui Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjadi tantangan besar dalam pembangunan manusia Indonesia.
Rendahnya angka partisipasi bersekolah penyandang disabilitas, rendahnya keterserapan disabilitas dalam pekerjaan, dan persoalan kebijakan yang belum inklusif masih menjadi persoalan yang dihadapi. Namun, pemerintah terus berkomitmen menyelesaikan berbagai permasalahan itu.
"Ini persoalan yang harus segera kita atasi dengan komitmen kuat, baik berdasarkan akal sehat maupun hati nurani tentang pentingnya kita mengarusutamakan masalah disabilitas," ujar dia.
Menurut Menko, persoalan ketimpangan penyandang disabilitas bukan hanya dalam pemenuhan hak. Yang sama pentingnya adalah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas agar bisa menunaikan kewajibannya sebagai warga negara.