Rabu 22 Dec 2021 21:40 WIB

Tarif Karantina Dikeluhkan Meski PHRI Sebut Hotel tak Untung Secara Bisnis

Aduan tarif karantina di hotel yang capai puluhan juta rupiah diterima wakil rakyat.

Peserta antre meninggalkan area bandara untuk menuju ke hotel karantina saat kegiatan simulasi penerbangan internasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (9/10/2021).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Peserta antre meninggalkan area bandara untuk menuju ke hotel karantina saat kegiatan simulasi penerbangan internasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (9/10/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Fauziah Mursid, Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Baca Juga

Wakil rakyat di parlemen baik itu dari kalangan DPR dan DPD mengaku menerima laporan keluhan terkait kebijakan kewajiban karantina bagi pelaku perjalanan yang pulang dari luar negeri. Selain kebijakan yang dinilai berubah-ubah, tingginya biaya karantina di hotel juga menjadi keluhan utama.

"Ada laporan yang menyebut satu keluarga yang berisi lima orang harus membayar Rp 150 juta untuk menjalani karantina. Ini sangat memberatkan, bahkan sudah keterlaluan," kata Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, dalam keterangannya, Rabu (22/12).

La Nyalla pun meminta pemerintah menetapkan batasan tarif untuk hotel yang menjadi lokasi karantina. Menurut La Nyalla, tarif hotel untuk karantina seharusnya diberlakukan seperti PCR atau swab antigen. Harus ada batasan limit termurah dan termahal.

"Harusnya pemerintah memberi patokan tertinggi harga hotel. Harus ada penetapan tarif dari pemerintah untuk kepentingan karantina yang notabene kewajiban yang dibuat pemerintah untuk masyarakat," kata La Nyalla.

Menurut La Nyalla, tidak semua warga negara Indonesia (WNI) yang pulang dari luar negeri adalah orang kaya sehabis liburan. Ada yang berobat dan keperluan lainnya.

"Karantina sah-sah saja asal pemerintah bisa mengatasi harganya. Ibarat sembako, kalau tidak ada campur tangan pemerintah, pedagang akan seenaknya memberikan harga," ujarnya.

Saat rapat dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada Senin (13/12) pekan lalu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily juga menyampaikan aspirasi dari masyarakat, terkait kebingungan mereka perihal kebijakan karantina. Pasalnya, kebijakan tersebut selalu berubah-ubah dalam beberapa waktu terakhir ini.

"Jangan sampai ada tuduhan masyarakat bahwa ini bisnisnya BNPB, bekerja sama dengan pemilik hotel. Jangan sampai begitu Pak, ini yang harus ditepis," ujar Ace.

Ia bahkan menerima aduan dari masyarakat, ketika adanya paket karantina di hotel selama 10 hari dengan biaya sebesar Rp 24 juta. Menurutnya, harga sebesar itu tentu sangat memberatkan WNI yang baru pulang dari luar negeri.

"Tidak ada masalah kalau memang ada penjelasan yang transparan dan terbuka berdasarkan pada evidence based policy. Kebijakan yang berdasarkan pada bukti, pada kebutuhan, sehingga tidak menimbulkan masalah buat di masyarakat," ujar Ace.

Sementara itu, Kepala BNPB Letjen Suharyanto menjelaskan bahwa kebijakan terkait karantina bukan dibuat oleh pihaknya. BNPB disebutnya hanya menjadi pelaksana dari keputusan para menteri.

"Jadi ini kami akan angkat ke pimpinan atas. Karena penentuan 10 hari ini berdasarkan keputusan para menteri, kami kasatgas hanya menjalankan saja," jawab Suharyanto dalam rapat tersebut.

In Picture: Rusun Nagrak Disiapkan Sebagai Lokasi Karantina Pekerja Migran

photo
Foto udara Rumah Susun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (20/12/2021). Pemprov DKI Jakarta menyiapkan Rumah Susun Nagrak sebagai lokasi karantina Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari luar negeri setelah Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran diisolasi menyusul adanya temuan kasus pertama COVID-19 varian Omicron. - (ANTARA/Galih Pradipta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement