REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar tata negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, menanggapi judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, konstitusi tak melarang secara tegas pemberlakuan presidential threshold.
Ismail menjelaskan presidential threshold merupakan ketentuan yang sifatnya terbuka diserahkan ke lembaga pembentuk Undang-Undang. Parlemen dan Presiden diperbolehkan menentukan format presidential threshold.
"Ketentuan ini disebut open legal policy diserahkan ke pembentuk Undang-Undang mau ada presidential threshold atau tidak itu kewenangan DPR dan Presiden enggak cuma DPR saja. Apakah mereka mau atau tidak mau," kata Ismail kepada Republika, Sabtu (18/12).
Ismail mempersilahkan siapapun mengajukan uji materil terhadap ketentuan presidential threshold. Sebab hal itu merupakan hak warga negara. Hanya saja, ia menekankan presidential threshold bukan sesuatu yang dilarang oleh konstitusi.
"Presidential threshold bukan sesuatu yang tegas diatur dalam konstitusi. Karenanya baik itu ditetapkan maupun tidak ada maka tidak ada debat konstitusionalnya," ujar Ismail.
Selain itu, Ismail mensinyalkan keraguan bahwa uji materil presidential threshold bakal diterima oleh MK. Sebab ia meyakini ketentuan presidential threshold tak melanggar konstitusi.
"Tidak ada isu konstitusionalnya karena tidak ada norma konstitusi yang dilanggar dengan adanya presidential threshold atau tidak ada," ucap Ismail.
Sebelumnya, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi mengajukan judicial review Presidential Threshold dalam UU Pemilu ke MK pada Jumat (10/12). Keduanya yang didampingi pengacara Refly Harun ingin ambang batas jadi nol persen.