Selasa 07 Dec 2021 06:57 WIB

Korupsi ASABRI, JPU Tuntut Hukuman Mati untuk Heru Hidayat

JPU menuntut hukuman mati bagi terdakwa Heru Hidayat dalam kasus Asabri.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat (kanan)
Foto:

Menanggapi hal itu, tim pengacara terdakwa korupsi, dan pencucian uang (TPPU) PT Asabri itu mengatakan, bahkan tuntutan mati terhadap bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu, menyalahi aturan. Pengacara Kresna Hutauruk meminta, agar majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) tak mengabulkan tuntutan mati terhadap kliennya itu. 

"Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan, dan menyalahi aturan," ujar Kresna dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (6/12) malam. Kresna menjelaskan mengapa majelis hakim tak perlu mengabulkan tuntutan mati terhadap Heru Hidayat. Menurut Kresna, aturan soal vonis pidana mati dalam perkara korupsi, memang dimungkinkan. Tetapi, itu dikatakan dia, mengacu pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor 31/1999-20/2001.

Sedangkan perkara terhadap Heru Hidayat, JPU dalam dakwaan menjerat kliennya dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 UU Tipikor. Meskipun kliennya itu juga dijerat dengan sangkaan Pasal 3 dan Pasal 4 TPPU, tetapi Kresna memastikan seluruh isi dakwaan JPU terhadap kliennya, tak ada menyertakaan tuduhan Pasal 2 ayat (2) yang membuka peluang hukuman pidana mati. Itu sebabnya, menurut Kresna, tuntutan JPU, berlebihan dan di luar jangkauan.

"Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan hukum, berlebihan, dan di luar kewenangan JPU," jelas Kresna. 

Kresna menambahkan, acuan tuntutan pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2), pun bersyarat, dan tak asal-asalan. Sebab, Kresna menerangkan, pasal mematikan itu, mengharuskan adanya syarat pelaku korupsi dapat di pidana mati, jika melakukan perbuatannya pada saat negara dalam keadaan bencana alam, atau krisis monoter, serta adanya perbuatan serupa atau pengulangan tindak pidana. 

Kresna menjelaskan, dalam perkara kliennya, syarat-syarat untuk dapat menuntut mati kliennya itu, tak terpenuhi. "Di mana dalam perkara terdakwa Heru Hidayat ini, syarat dan kondisi sesuai dalam Pasal 2 ayat (2) itu, tidak ada," kata Kresna. 

Pun ia menjelaskan, alasan JPU menuntut mati Heru Hidayat lantaran melakukan tindak pidana korupsi berulang, dengan mengaitkan kasus serupa antara perkara Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya yang dilakukan kliennya, juga rancu. Sebab dikatakan Kresna, mengacu KUH Pidana, defenisi tindak pidana yang berulang, mengharuskan orang tersebut, sudah menjalani masa pemidanaan.

"Pengertian pengulangan tindak pidana, orangnya harus dihukum dahulu, baru kemudian melakukan tindak pidana (kembali)," ujar Kresna. 

Sedangkan kaitan status hukum kliennya sebagai terpidana dalam kasus Jiwasraya, tak dapat menjadi alasan terjadinya perbuatan pidana pengulangan dalam perkara Asabri. Sebab mengacu penjelasan JPU sendiri, perbuatan korupsi dan TPPU Asabri yang dituduhkan kepada Heru Hidayat, terjadi pada periode 2012-2019. Sedangkan putusan pengadilan atas kliennya pada kasus Jiwasraya, baru terjadi pada 2020.

Dalam kasus Jiwasraya, Heru Hidayat, sudah inkrah sebagai terpidana seumur hidup karena merugikan negara Rp 16,8 triliun. "Sehingga, jelas ini bukan pengulangan," ujar Kresna. 

 

Sebab itu, Kresna meminta, agar majelis hakim PN Tipikor, menolak tuntutan JPU yang tak berlandaskan dakwaan. Kata dia, tuntutan yang tak mendasar ke dakwaan, dapat dinilai sebagai sikap hukum menyalahgunakan kewenangan. "Ini (tuntutan mati) bisa dianggap abuse of power," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement