Rabu 01 Dec 2021 22:19 WIB

Kala Sri Mulyani Bikin Emosi Pimpinan MPR

Pimpinan MPR mengusulkan Presiden Jokowi mencopot Menkeu Sri Mulyani.

Rep: Febrianto Adi Saputro, Novita Intan, Haura Hafizhah/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto:

Terkait kritikan MPR, Kementerian Keuangan membuka suara terkait ketidakhadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat pimpinan MPR. Stafsus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan Sri Mulyani mendapat undangan rapat dari pimpinan MPR sebanyak dua kali.  

Pertama, pada 27 Juli 2021 namun Sri Mulyani tidak dapat hadir karena bersamaan waktunya melakukan rapat internal bersama Presiden Joko Widodo. Meski tak hadir, Yustinus menyebut Sri Mulyani mengutus Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara untuk mewakilinya rapat dengan DPR.

Kedua, pada 28 September 2021 tapi Sri Mulyani juga tidak datang karena rapat dengan Badan Anggaran DPR untuk membahas APBN. "Menkeu harus hadir, dengan demikian diputuskan rapat dengan MPR ditunda," ujarnya kepada Republika, Rabu (1/12).

Sebagai informasi, pimpinan MPR pada awal pekan kemarin marah kepada Sri Mulyani. Kemarahan dipicu dua hal antara lain pertama pemangkasan anggaran MPR yang dilakukan oleh Sri Mulyani dan kedua ketidakhadiran Sri Mulyani dalam beberapa kali rapat dengan MPR. 

Sementara menanggapi usulan MPR, pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai pimpinan MPR sudah melampaui batas kewenangannya.

"Pimpinan MPR sudah melampaui batas kewenangannya ketika meminta Jokowi memecat Sri Mulyani. Permintaan Pimpinan MPR yang disampaikan Fadel Muhammad itu tentu mengejutkan. Sebab, sebagai pimpinan MPR bukanlah ranahnya untuk meminta presiden memecat menterinya," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (1/12).

Kemudian, ia melanjutkan Indonesia sebagai negara yang menganut presidensil, tentu mengangkat dan memberhentikan menteri menjadi hak prerogatif Presiden. Maka dari itu, siapapun termasuk MPR tidak berhak menekan presiden untuk memecat menterinya. Hal ini akan berbeda bila Indonesia menganut sistem parlementer. Legislatif masih dimungkinkan untuk mengurusi urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri.

"Pimpinan MPR seolah tidak memahani tugas dan fungsinya setelah UUD 1945 diamandemen," ujarnya.

Ia berharap Presiden Jokowi  mengabaikan permintaan pimpinan MPR tersebut. Sebab, kalau hal itu dituruti akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan tata negara di Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement