REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bareskrim Polri menangkap pelaku pelecehan seksual via gim daring Free Fire berinisial S. Laki-laki usia 21 tahun itu ditangkap tim Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) di Berau, Kalimantan Timur (Kaltim).
Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri, Komisaris Besar Reinhard Hutagaol mengatakan, dari hasil penyelidikan dan penyidikan, S melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur. “S ini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tercatat jumlah korbannya sudah 11 orang anak-anak di bawah umur,” ujar Reinhard di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/11).
Kata dia, korban pelecehan S, rata-rata perempuan berusia 9 sampai 17 tahun. Korbannya dari berbagai daerah. “Ada korbannya yang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, juga ada korban yang di Papua,” terang Reinhard.
Dari penelusuran, kata Reinhard, tim penyidik sudah menemukan dan melakukan wawancara terhadap empat korban. Sedangkan para korban lainnya masih dalam penelusuran untuk direhabilitasi dan pemulihan jika terjadi trauma.
“Korban-korban lainnya, masih kita lakukan pencarian untuk ditemui dan diperiksa,” ujar Reinhard. Dalam kasus ini, tim kepolisian turut menggandeng sejumlah lembaga pendampingan dan kementerian untuk pengungkapan.
Reinhard menjelaskan, Kasus S ini sebetulnya berawal dari temuan dan pelaporan oleh tim di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Agustus 2021 lalu. KPAI, kata dia, mendapatkan laporan dari salah satu keluarga korban inisial D.
Perempuan berusia sekitar 9 tahun itu diketahui menjadi korban S setelah orang tuanya meminjam dan memeriksa seluler milik D. “Akan tetapi D tidak mengizinkan handphone-nya (HP) dipakai oleh orang tuanya,” terang Reinhard. Karena itu, orang tua D pun semakin penasaran.
Alhasil, dalam satu kesempatan, orang tua D berhasil mendapatkan telepon genggam anaknya itu. “Lalu kedua orang tuanya memeriksa isi di dalam telepon anaknya. Di situ orang tua D menemukan foto-foto dan video D tanpa busana,” terang Reinhard.
Orang tuanya menanyakan kepada D soal foto-foto dan video tanpa busana itu. “D kepada orang tuanya mengaku foto-foto dan video tanpa busana itu dikirimkan kepada temannya bermain gim online bernama Reza,” terang Reinhard.
Reza adalah S. Penyidik, kata Reinhard, pun sudah mengecek HP milik D tersebut. Lalu menemukan percakapan D yang telah dihapus tentang foto-foto dan video tanpa busana itu. Dari penelusuran lanjutan, D berkenalan dengan S lewat permain gim daring bersama Free Fire.
“Dari aplikasi gim online itu, mereka saling berkomunikasi,” terang Reinhard.
S selanjutnya meminta D untuk mengirimkan foto-foto dan video tanpa busana. “Dengan iming-iming supaya korban (D) diberikan diamond, atau alat pembelian dalam aplikasi gim Free Fire tersebut,” ujar Reinhard.
D, kata Reinhard, semula sempat menolak. Akan tetapi, S mengirimkan contoh-contoh foto-foto dan video tanpa busana. Lalu S pun sempat mengancam akan menghapus akun gim daring milik D jika si korban tak segera mengirimkan foto-foto dan video yang diinginkannya.
“S berjanji untuk memberikan 500 sampai 600 diamond kepada korban, jika korbannya itu mengirimkan foto dan video tanpa busana yang diminta,” terang Reinhard.
Kata Reinhard, selain meminta para korbannya untuk mengirimkan foto dan video tanpa busana, tersangka S juga kerap meminta korbannya melakukan video call sex (vcs). Atas perbuatan S tersebut, penyidik menjerat pidana berlapis terhadap S dengan Pasal 82 juncto Pasal 76 E UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak.
Kemudian, Pasal 29 juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 37 UU 44/2008 tentang Pornografi dan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU 9/2016 tentang ITE. Dengan sejumlah pasal itu, S terancam penjara 15 tahun.
Terkait kasus ini, anggota KPAI Margareth Aliyatul Maumunah mengatakan, pelecehan terhadap anak di umur lewat gim daring ini adalah wadah baru terkait kejahatan seksual. Kasus ini juga bukan kali yang pertama terjadi.
Pada 2019 lalu, kata Margareth, kasus serupa pernah terjadi. Tetapi dalam kasus kali ini, pelecehan seksual via gim daring meluas dan lebih masif karena menyasar dan dapat menjangkau anak-anak di seluruh wilayah.
“Korban-korbannya ini masih anak-anak. Dan pelakunya juga masih sangat muda,” ujar Margareth di Mabes Polri.
KPAI mengimbau agar para orang tua tak luput perhatian dan tak lepas pandangan, serta kontrol terhadap anak-anaknya yang gandrung gim online dan dunia siber. “Kami menyebut ini sebagai kekerasan seksual dengan istilah sextortion. Kami berharap agar seluruh orang tua tetap memperhatikan dan mengawasi aktivitas internet anak-anaknya,” ujar Margaret.