Senin 29 Nov 2021 14:32 WIB

MK Dinilai Inkonsistensi Beri Putusan Terhadap UU Ciptaker

Kuasa hukum pemohon uji formil UU Ciptaker menilai putusan MK inkonsisten.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator tim kuasa hukum pemohon uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait regulasi tersebut. Namun, ia melihat ada inkonsistensi MK dalam putusan tersebut.

Dalam amar putusan MK, ia menggarisbawahi dan menekankan bahwa MK mengatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun. Hal tersebut dipandangnya sebagai putusan yang kurang tegas.

Baca Juga

"Jadi sepertinya MK memberikan kesempatan bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki, tapi juga memberi kesempatan untuk kalau tidak perbaiki gapapa. Kenapa? karena publik jelas-jelas sudah menolak undang-undang ini," ujar Viktor dalam sebuah webinar yang dikutip Senin (29/11).

Di samping itu, ia tak bisa menjamin apakan pemerintah dan DPR membuka seluas-luasnya partisipasi publik dalam perbaikan UU Cipta Kerja. Viktor tak ingin, yang terjadi adalah perbaikan omnibus law itu kembali diuji formil.

"Jangan sampai uji formil ini terjadi seperti itu, sudah diuji formil, dibentuk lagi tidak sesuai dengan pakem, kemudian diuji formil lagi oleh teman-teman yang tidak setuju," ujar Viktor.

Jika dalam waktu dua tahun pemerintah dan DPR tak selesai memperbaiki UU Cipta Kerja, maka regulasi manakah yang akan berlaku. Hal inilah yang justru membuat putusan MK dinilainya tidak konsisten dalam memandang regulasi sapu jagat tersebut.

"Ini yang saya katakan, jika dalam dua tahun tidak diselesaikan maka pasal, undang-undang materi muatan yang sudah diubah atau dicabut akan berlaku kembali," ujar Viktor.

"Artinya mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum, sehingga kalau pemerintah tidak mau melanjutkan, ya artinya akan kembali pada kondisi awal, kasarnya tidak terjadi apa-apa," sambungnya.

Dalam forum yang sama, mantan ketua MK Hamdan Zoelva menilai tepat putusan dari lembaga yang pernah dipimpinnya itu terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya jika dibatalkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru.

"Kalau dinyatakan serta merta tidak berlaku, memang dampaknya sangat luas dan banyak sekali perdebatan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru," ujar Hamdan.

Jika UU Cipta Kerja dibatalkan dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, undang-undang mana yang akan digunakan oleh pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya. Termasuk dalam pemberlakuan aturan pelaksanaanya.

"Lalu bagaimana implementasinya di lapangan itu, bagaimana statusnya, kemudian UU yang mana yang akan berlaku. Kalau memberlakukan undang-undang yang lama, apakah ikutan PP yg lama yang berlaku, jadi ini akan menimbulkan kekacauan baru," ujar Hamdan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement