Kamis 18 Nov 2021 00:30 WIB

Menanti Kearifan Selesaikan Polemik Permendikbud 30/2021

Pemerintah perlu mendengarkan suara keberatan dari hati yang paling dalam.

Rep: WWahyu Suryana/Muhyiddin/Haura Hafizhahahyu Suryana/Muhyiddin/Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Legalisasi Seks Bebas di  Permendikbudristek 30/2021. Foto: Tahta Aidilla/Republika
Foto:

Menuai pro dan kontra

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi masih menuai pro dan kontra.

Kalangan tokoh perempuan pun turut menyampaikan pandangannya tentang peraturan yang tengah menjadi polemik tersebut. Persoalan pokok yang menuai polemik bersumber dari frasa ’tanpa persetujuan korban’ sebagaimana yang tercantum pada beberapa pasal dalam Permendikbudristek Nomor 30.

Tokoh perempuan dari kalangan jurnalis, Fristian Griec menjelaskan, Permendikbud Ristek Nomor 30 menuai polemik lantaran adanya sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’.   ”Sebagian pihak menilai melegalkan zina melalui sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’,” ujar host acara News Talk Show Forum Fristian di TVRI ini.

Dia mengungkapkan, mereka yang telah dewasa atau cukup umur menurut hukum, jika menyatakan setuju dan/atau atas kemauannya melakukan suatu perbuatan yang sebelumnya berkategori sebagai kekerasan seksual, maka pelakunya tidak lagi dapat terjerat secara hukum.

”Pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 Permendikbud a quo yang memuat sejumlah klausul mengenai ’consent’ ini seharusnya direvisi,” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu

Karena, Fristian khawatir, keberadaan sejumlah pasal tersebut menutup mata terhadap banyak pasal lain yang memang penting dan perlu untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Sesungguhnya, menurut dia, dengan membaca secara lengkap dan menyeluruh, maka semangat Permendikbud a quo adalah memberikan perlindungan secara optimal kepada korban kekerasan seksual. ”Salah satunya dengan adanya jaminan keberlanjutan sekolah bagi mahasiswa dan keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik maupun tenaga kependidikan yang menjadi korban,” jelas Fristian.

Baca juga : Jenderal Andika Segera Evaluasi Beberapa Program TNI

Fristian berharap, polemik Permendikbud a quo dapat menjadi momentum yang menyadarkan semua stake holder bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak untuk mendapat pengesahan menjadi UU.

”Secara hierarkis, RUU PKS memiliki derajat lebih tinggi dibanding Permendikbud yang sedianya mengatur hal-hal yang bersifat teknis,” ujarnya.

Sementara Direktur Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Jakarta Nurul Amalia mengatakan, terdapat kesalahan teknik penggunaan bahasa hukum dan bahasa Indonesia yang baku untuk penyusunan dokumen hukum seperti Surat Edaran 7/2021 tersebut. "Kami telah mengkaji dan menganalisis, apakah dalam SE 7/2021 mengandung paradigma sexual consent atau persetujuan seksual di dalam angka 1 huruf a, b dan e sebagaimana halnya di dalam Permendikbudristek 30/2021," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.

Dia menjelaskan, merujuk pada Lampiran II UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), maka laras kalimat hukum dalam isi surat edaran tersebut tidak dapat dibaca serta merta dengan argumen sebaliknya mengingat terdapat banyak ketidaksesuaian dengan kaidah bahasa hukum.

Sehingga frasa "yang tidak diinginkan"(dalam angka 1 huruf a, b dan e), frasa "yang tidak diharapkan"(dalam angka 1 huruf e) tidak dapat dibaca secara parsial, melainkan harus ditelaah dari laras kalimat angka 1 secara menyeluruh, karena angka 1 huruf a, b, c, d dan e tidak memuat norma hukum baru atau pengaturan norma, yang kemudian menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat seolah-olah frasa tersebut sama dengan konsep persetujuan seksual.

"Untuk menghindari multitafsir di kalangan masyarakat terkait frasa tersebut, maka kami meminta Gubernur DKI Jakarta untuk memperbaiki Surat Edaran 7/2021 demi terciptanya ketertiban di masyarakat dan memperbaiki produk hukum Pemprov DKI Jakarta agar disusun sesuai dengan kaidah bahasa hukum dan bahasa Indonesia yang baku," ujar dia.

Dia menyarankan perbaikan pilihan kata atau kalimat angka 1 huruf a sampai e sesuai kaidah dalam Lampiran II UU P3 yaitu sebagai berikut. Dalam hal terjadi tindak pelecehan seksual di lingkungan kerja, sebagai berikut: a. Pelecehan fisik; b. Pelecehan lisan; c. Pelecehan isyarat; d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan e. Pelecehan psikologis / emosional; dan/atau Dst.

 

"Ini kami sampaikan sebagai upaya mewujudkan Indonesia bersih dari tindak pelecehan seksual melalui sistem hukum yang berlaku," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement