Rabu 10 Nov 2021 16:57 WIB

Asah Asih Asuh Anak untuk Indonesia Emas

Pakar sayangkan belum ada inovasi baru terkait perencanaan penanganan stunting.

Rep: Ronggo AstungkoroDadang Kurnia/ Red: Friska Yolandha
Petugas kesehatan mengukur lingkaran kepala balita saat pelaksanaan Pos Pelayanan Keluarga Berencana Kesehatan Terpadu (Posyandu) di Desa Toabo, Kecamatan Papalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (3/11/2021). Kegiatan posyandu tersebut dilakukan untuk menghindari kasus stunting pada anak dengan memberikan vitamin A dan suntikan imunisasi.
Foto:

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Sri Sumarmi mengatakan, meski tingkat prevalensi stunting mulai menurun dari tahun ke tahun, namun tidak akan cukup untuk meraih target di 2024 tersebut. Menurutnya, tantangan penurunan angka prevalensi stunting salah satunya diakibatkan problematika regulasi dan data di tingkat daerah maupun pusat. 

Perempuan yang akrab disapa Prof Mamik itu menyebut pihaknya sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah. Dalam kegiatan lapangan tersebut, ditemukan banyak perbedaan kontras antara data stunting nasional dengan daerah.

“Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali,” kata Mamik, Selasa (9/11).

Perbedaan tersebut, kata dia, mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin. Ia pun menyarankan pemerintah daerah untuk memakai data rutin daerah untuk melakukan intervensi penanganan stunting. Namun dengan syarat, proses pengukuran dan analisis harus dilakukan dengan benar dan alat terstandar.

“Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat,” ujarnya.

Prof Mamik juga mengkritisi perencanaan penanganan stunting di daerah yang kebanyakan copy paste dari perencanaan tahun sebelumnya. “Kami pernah menemui itu dan diakui sendiri oleh kepala dinasnya. Mereka hanya tinggal mengganti tahun,” kata dia.

Dalam situasi tersebut, Prof Mamik menilai perguruan tinggi dapat hadir untuk membantu pencegahan stunting sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dari segi pendidikan, ia mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak mata kuliah atau kegiatan yang membahas isu-isu stunting.

Sementara dalam segi penelitian, kata dia, perguruan tinggi dapat berkontribusi pada intervensi spesifik dan intervensi sensitif melalui penelitian berupa riset implementasi. Artinya, riset dibuat dan ditujukan untuk implementasi nyata bagi masyarakat.

"Hasil riset itupun nantinya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan regulasi penanganan stunting," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement