Rabu 10 Nov 2021 16:57 WIB

Asah Asih Asuh Anak untuk Indonesia Emas

Pakar sayangkan belum ada inovasi baru terkait perencanaan penanganan stunting.

Rep: Ronggo AstungkoroDadang Kurnia/ Red: Friska Yolandha
Petugas kesehatan mengukur lingkaran kepala balita saat pelaksanaan Pos Pelayanan Keluarga Berencana Kesehatan Terpadu (Posyandu) di Desa Toabo, Kecamatan Papalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (3/11/2021). Kegiatan posyandu tersebut dilakukan untuk menghindari kasus stunting pada anak dengan memberikan vitamin A dan suntikan imunisasi.
Foto: ANTARA/Akbar Tado
Petugas kesehatan mengukur lingkaran kepala balita saat pelaksanaan Pos Pelayanan Keluarga Berencana Kesehatan Terpadu (Posyandu) di Desa Toabo, Kecamatan Papalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (3/11/2021). Kegiatan posyandu tersebut dilakukan untuk menghindari kasus stunting pada anak dengan memberikan vitamin A dan suntikan imunisasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Ronggo Astungkoro, Dadang Kurnia

JAKARTA -- Penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas kian penting dilakukan dalam menyongsong bonus demografi demi Indonesia Emas tahun 2045. Hal utama yang terus menjadi sorotan ialah masih besarnya jumlah stunting di Indonesia, yang disebabkan tidak hanya oleh faktor kesehatan, tetapi juga oleh optimal tidaknya pola asuh anak oleh keluarga.

Baca Juga

"Selain stunting itu karena suboptimal nutritional, suboptimal health, artinya dia kurang mendapatkan asupan dan kecukupan perlindungan kesehatan, ingat ada satu faktor lagi yang menentukan, yaitu asuhan yang tidak optimal," ungkap Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, pada webinar bertajuk 'Cegah Stunting dengan Pola 3A (Asah Asih Asuh)', Rabu (10/11).

Hasto mengungkapkan, kunci dari semua itu ada pada penduduk dengan usia remaja. Menurut dia, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan, yakni jangan sampai penduduk usia remaja putus sekolah, menikah pada usia muda, dan hamil berulang kali dengan interval kehamilan yang begitu dekat.

"Ketika para remaja ini kemudian kawin usia muda dan putus sekolah, memang itu ancaman terjadinya stunting. Sehingga saat remaja, pemuda, dan juga pasangan usia subur baru menghasilkan anak stunting menjadi lingkaran setan, akhirnya miss bonus demografi," ungkap Hasto.

Dia mengatakan, apabila itu terjadi di tengah masyarakat Indonesia, maka bonus demografi yang seharusnya menjadi benefit bangsa ini akan berubah menjadi musibah. Impian akan terjadinya transformasi kesejahteraan berubah menjadi kesengsaraan.

Menurut Hasto, akselerasi pertumbuhan ekonomi, khususnya pendapatan per kapita, umumnya terjadi ketika proporsi antara penduduk usia produktif jauh lebih besar daripada penduduk usia tidak produktif. Dia melihat, peluang Indonesia untuk mencapai tahap itu pada 2035 tidak begitu lama. Bahkan, kata dia, dapat datang lebih cepat daripada perkiraan sebelumnya.

"Setelah tahun 2035 itu kemudian aging population, maka sebetulnya peluang itu tidak lama. Bahkan kita tengarai agak maju. Karena sekarang ini dependency ratio-nya sudah 44. Kita duga dulu dependency ratio-nya 44 itu tercapai tahun 2025, ternyata tahun 2020 sudah tercapai," jelas dia.

Dia menyampaikan, BKKBN mencatat, saat ini angka kasus stunting di Indonesia saat ini sebesar 27,6 persen dari semua populasi penduduk Indonesia. Dari sana didapatkan, hampir satu per tiga di antara masyarakat kurang produktif dibandingkan dengan sisanya. Di samping stunting, ada beberapa persoalan lain dalam masalah SDM di Indonesia, salah satunya adalah mental emotional disorder.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement